Pulang ke Depok

Berkibarlah rambutku, dijuntai angin Depok Baru
Tak peduli apa agamaku, rambutku bebas menderu-deru
Ketika kupijak tangga penyebrangan turun, bau pesing di mana-mana
Panas menusuk-nusuk di raga, kulitku belang dijilat surya
Tapi kukibarkan kebebasanku, diriku seutuhnya
Sedikit-sedikit ia terbang melambung seperti balon udara, rantai-rantai yang dulu mengikat jiwa
Tetiba sendalku putus sebelah
Toko kelontong menjajakan dagangannya
Penjual menyapa, “LA Ice ga neng?”
Aku menggeleng, mengocok saku celana yang pendek, menunjuk sendal hijau
Dan siang itu panas menyengat, tapi kukibarkan uang dua puluh ribu
Dan kudapatkan es degan, sendal jepit, dan seporsi nasi pecel buatan Mbok Minah
Klakson bersahutan, rambutku tetap berkibar, debu menghempas wajahku kasar
Tapi diriku bahagia menyambut dunia

Evanston, 06/06

Waktu beku di ujung lidahmu

Yang berkelok di telingaku

Menanamkan kebohongan dan janji palsu

Misalnya seperti malam yang masih muda, dan jalanan ibukota belum sepenuhnya aku rekam di kepala

Misalnya musik-musik orkestra, yang kita nikmati setelah usai bertandang ke sinema

Atau seperti bakmi di mangkok-mangkok yang kita tumpuk di pinggir meja

Semuanya kupahami, seperti keringat di pelipismu

Hanya mengucur

Tapi janji palsu itu terus menahanku untuk mengayuh menuju kematian

Dan sedikit, meski sulit, aku bisa tetap ada di sini

Bernafas, menepuk-nepuk botol berisi kehidupan

Meskipun aku tahu, aku rasa, ini semua sementara

Tapi angin masih mengembus bau masakan kesukaan, laut masih asin rasanya, lilin masih menetes panas di pipiku, dan kau masih ada meminjam ragaku untuk baring

Dan sedikit-sedikit aku hidup lagi, meski seringkali ingin kukhianati diri

Mati lagi

Mimpi
Mungkin bukan milikku yang tak kenal lelah
Mungkin milik mereka yang terus terjaga
Mungkin milik mereka yang serius bekerja

Mungkin mimpi
Milik mereka yang bangun pagi
Milik mereka yang tak harus menyuapi
Congor-congor keluarga yang menganga setiap hari

Barangkali mimpi
Adalah layar yang ditangkap mata setiap dini
Adalah hidung yang mengendus buku baru di sela lemari
Adalah jari yang mengetuk-ngetuk tulisan hilir kemari

Tapi aku tau mimpi
Bukan milikku yang tak pandai
Yang hanya bisa berandai
Dan milik mereka yang pintar berhandai

Dan masih kupeluk erat mimpi
Yang mulai habis masanya
Yang tak kunjung kulihat arahnya
Yang hidupnya selesai ketika kantuk tak mengada

Diari I

Berkokok pagi di telinga
Mematuk mata, menjilat-jilat kepala
Teh hangat, kopi hitam
Bagel untuk sarapan
Hanya milik orang-orang yang juara

Hari ini aku kembali kalah
Dalam kebingungan, dalam pengandaian
Andai ayah dan ibu tak pernah pisah
Tapi pagi ini waktu berlari cepat
Tak ada waktu untuk bernafas; untuk sekadar yoga dan menulis jurnal
Waktu memburu, memaksaku memuat pernyataan hidup

Aku tak pernah berpikir dunia hancur, ketika rumahku menjadi nir
Tapi kini kupungut puing-puingnya
Kubentuk seperti ingatan yang purba
Liat; membekas tanah di sekujur roma

Dan pagi ini adalah milik sang juara
Sedangkan aku kalut, marah, dan terluka
Jadi aku rebut lagi selimut menutup muka
Di samping kekasihku yang lelap tidurnya

Insom—mer

Dentum menanda waktu pukul tiga dini hari
Malam bahkan hampir bangun dari rebahnya
Lima kali aku bolak-balik mencari kantuk
Tapi tiap kali aku pejam, dunia menjadi terlalu gelap dan pengap

Terlalu banyak waktuku yang terjagal gagap
Ketidakmampuanku menerjemahkan bahasa justru mengantar liyan di garba

Hidup di usia segini, benarkah wajar mendapati diri depresi?
Bermacam cara aku coba rebut kendali
Tapi tak aku temukan betah dalam diari
Tulisan sehari-hari hanya berisi suara-suara lirih

Angin dingin membawa turun salju di Evanston
dan aku pulang dalam pelukan hangat air mata
Kukuatkan diri, kubesarkan hati
Tapi sedikit-sedikit personaku mati

Rasanya dulu jiwaku bernas!
Penuh pilu, tapi sesekali tahu caranya bergembira
Kenapa sekarang aku lupa?

Bulan lalu psikologku pergi tanpa jejak
Menanggalkan tubuhku dan rasaku
yang kembali rindu pada kematian
”Aku ditinggal lagi”
Mantap! Barangkali laraku terlalu agam untuk waktunya yang sedikit

Besok aku mesti kembali berpura-pura
Sebelum tidur aku selalu berdoa
Semoga aku tetap waras dengan iklim kerja yang semena-mena
Selamat malam semua,
saya pamit selamanya

Kekasihku Renjana

Jakarta yang hujan hari ini, membawa sepasang mata pada air-air yang mengulir

di sela gorong-gorong stasiun Sudirman.

Renjana memikul lelahnya dalam sunyi, lalu berdoa

semoga hari tak cepat usai

Sehingga malam tiada datang, menyegerakannya kembali pulang pada kebingungan

mengapa dendam tak kunjung padam, tapi ibaku padanya selalu ada

Renjana menahan sakit pada tenggorokannya, menelan semua sedihnya

menapak kakinya pada trotoar yang setengah terbengkalai, compang dan camping

Hari itu ia pulang dengan pesan dari dokternya,

seperti air dalam gelas, Renjana mestilah merelakan masa lalunya

Renjana bingung, sebab pada masa lalulah ia justru merasa hidup

justru saat ini, Renjana berdoa untuk kembali pada masa lalu

Kini setiap sore—atau maghrib kumandang, seperti stereotip perempuan pada umumnya

Renjana mesti masuk ke kandang, menghindar dari marabahaya makhluk ghaib yang penuh celaka

Padahal nestspa justru bercokol di tempat yang Renjana sebut rumah

dendam ini mengakar di jiwanya, tapi bukankah dirinya mesti berbakti— sebagaimana mereka menyayangi Renjana di waktu kecil

Tak sedikitpun getir dan bingung yang gema hanyut bersama hujan,

sedangkan toa stasiun dengan konyolnya meneriakan jam pulang kerja tiba dan Renjana tak punya lagi alasan untuk tak menaikinya

Renjana pun menyeret tubuhnya, setengah berlari, lalu embus menerobos ramai seperti angin

Renjana akhirnya tau ia akan pulang, tapi bukan pada rumahnya.

PS

Renjana, aku harap kamu tau bahwa aku juga ingin pulang bersamamu.

2020/2021

It was full of pain and torture
Full of disappointment
And tears
And lots of Ibuprofen and Melatonin
I was lost for months
And still feeling lonely sometimes
But in the end of 2020 and near of 2021 I realize
Sometimes I got blind and cannot see people that surrounded me
Even though I do not really know 100 percent how their feelings toward me
Or does this friendship is mutual
I should feeling grateful for them to try reconnect with me

It makes me wonder…
Why am I always feeling like this? Like no one ever loves me
While there are several people that actually reaching me out
It is not like a ton, I even can count it with my left finger
But why am I always distrust their intention?
When they actually want to reconnect

I miss the old days
I wish there are some ways for me to go back
How come I always lingering with the past
I wish I treat everyone better
I wish I treat myself better

Then I remembered the unfinished business between me and Mbak Ajeng
The unfinished therapies
The unfinished feeling
I wish I can get better soon
I wish I finally can say like what Robin said
“I want to live”
I wish I can get better soon
I wish 2021 can help me getting better than before
So I can be ear and shoulder to everyone who have similar pain with me
I wish…

11/20/2020

Sulit bagiku menulis sepi,
Ia begitu luas dan gegap dalam dadaku
Tapi ia begitu kerdil ketika kuungkap dalam doa
Ia menciut di antara larik manusia,
Kemudian terlihat meniada dalam foto yang terlihat bahagia

Lamban waktu terasa, kadang aku lupa aku siapa
Dan tulisanku hanya berisi pertanyaan lama
Aku hidup untuk apa?
Akhirnya aku tak lagi tahu soal menulis dan lainnya
Semua terasa mentah karena berulang kali kutulis alasan untuk binasa

Resah menelurkan anak-anaknya dalam rahimku
Dan lahir di pikiran-pikiran yang lari setiap malam
Tuhan datang mencumbu, membuatku orgasme dalam narasi mistisnya
Lalu mengabsenkan dirinya sepuluh tahun belakangan
Apakah aku hanya pelacur bagi-Nya?

Andai ada kata-kataku yang mampu,
membuat orang bangun dari tidurnya dini hari dan bergegas ke kamar mandi
Andai kata-kataku yang nyaring,
dan ditanyakan orang setiap hari
“Apakah sudah terdengar adzan Maghrib?”

Life is irony

My life is irony
Today is my birthday
Exactly the same with suicidal prevention day
While the thing I have been yearning since years ago is how to get die easily; without any pain
They say “maybe it’s caused by the birthday blues”
They say “everyone care and love you, why you want it so bad to seeing death”
“People who love you will feel terribly sad; you know that suicide can affect other to do it too”
I cannot find any answer to that
I wish I can feel your love, I can return it
But thinking of it just makes me want to scream
I don’t know how; I don’t know to feel and return it
I wish I know how to live and enjoy life
I wish I know how to be a normal person; the friendly and sensitive to others
I do; I really do
But I can’t; it’s too hard
All I can say is thank you
Thank you for being here; but nonetheless nothing I can do except accepting that I am not worth living.

WHAT IS FREEDOM?

What is freedom?
Is it mean to live without paying your bills?
Or is it mean to run away to wherever and whenever you want?
What is freedom?
Is it mean we can stay at the border without gunfire?
Or is it mean the ability to choose whatever the choices you have?
What is freedom?
Is it mean to breathe the air without a mask to cover your face?
Or is it mean to spend your time with family and friends all day?
What is freedom?
Is it mean to be dreaming without afraid of failing?
Or is it mean to be expressive with your identity?
What is freedom?
Is it the power to fight all of your dark thoughts?
Or is it mean to sleep peacefully in your deathbed?
What is freedom?
Is it mean you can raise your voice and ask every questions that pops up in you head?
Or is it mean you can be decisive and indecisive person at the same time?
What is freedom?
Is it mean an ability to escape from boredom in this pandemic situation?
Or is it mean to be free from your self?
I wish my freedom is something that similar with Dazai and Naoko have
I wish it will not take a longer much time