Api ditiup padam

Bulan jatuh di pelipismu
Lalu lebur mengawang seperti kabut

Malam jadi gelap lidahmu
Menjulur resah, terjun jatuh ke bawah
Kakimu basah oleh mani
Yang kau tahan berhari-hari

Geram, kau gertak birahi
Supaya tak muncul lagi
Padahal kau selalu rindu
Pada lingga yang tak kenal kuyu

Lalu aku jadi pendosa
Menawarkanmu hal yang tak bisa
Berdiri dan menantang
Aku hanya punya benda yang telentang

Kini kau puasa
Dan aku masih merasa berdosa
Tapi memang siapa juga yang mau didua-ditiga-diempat-dilima
Pada segala juta rupa

Lagi, malam naik ke subuh
Dan pikiran-pikiran ini harus segera luruh

P.s
Selalu lupa dibahas ketika berdua, namun selalu diingat ketika sendiri.

Peramal yang pensiun

Di perbatasan aku lihat engkau yang gamang akan menyebrang, jalanan sepi dan rokokmu tinggal setengah batang. Setengahnya lagi habis dimakan angin, dimakan gelap, dimakan api. Kau tukang ramal tentu kau paham bagaimana kartu bekerja. Namun, tadi pagi kau lupa cara membaca kartu. Kau lupa cara membaca pertanda. Kau raba korekmu, kau pantik api namun tetap kau hampa dalam pikiran-pikiranmu. Kau jadi sensitif padaku, tak mau kudekati, tak mau lagi berbagi. Aku yang disebrangmu juga ikut bingung, apa benar kau mau pergi?

Kemarin sore kau tertawakan manusia, katamu “lihat manusia-manusia tak berdaya, tak mau percaya. Padahal Dewata telah bertutur irama, mereka tetap tak percaya. Coba manusia lebih peka pada pertanda, bukan hanya bersandar pada satu wacana. Lihat aku, tentu aku percaya Dewata tetapi juga percaya pada Dhayu, pada Semesta, pada Alam Raya. Aku menolak percaya satu kitab, satu buku.”

Tapi coba kini lihat, jangankan pada entitas yang serba maha (sebab selalu kau tulis dengan huruf kapital), pada aku pun kau tak lagi percaya. Kini selalu kau dambakan terang, kau larut pada terang. Aku ingin berkata “mampus kau, makanya jangan sok paling bisa mengerti pertanda” tapi kuurungkan ketika kulihat bibirmu kering, matamu berceluk, hidungmu berair, nafasmu tak lagi memburu. Aku kasihan tetapi tidak kasihan, makhluk semacam kau tak perlu kukasihani (sebab kau sendiri benci mendapat iba). Kekasihmu pergi, ia terlampau kaget pada segala perubahanmu sehingga kini kau membasahi bibir dengan ludahmu sendiri (namun ludahmu sekarang pun telah kering, tubuhmu tak lagi punya air).

Tadi pagi kau buka kartu, kau panggil energi, kau panggil masa depan untuk hadir di mejamu. Akan tetapi, tiba-tiba kau menjadi gagap membaca, kau gagu tak bersuara. Aku hadir dan duduk di antara tubuhmu serta kursi, terhimpit oleh terang membentuk potongan tubuhmu yang gelap. Kau teriak, tentu mengagetkan sebab waktu menunjukkan pukul enam pagi. Kekasihmu bahkan panik bukan kepalang, ia lari menuju sumber suara. Ia dekap tubuhmu “ada apa? Kau baik-baik saja, sayang?”, sekelumit dari takutmu secara gaib luntur. Sebab kau tahu, kekasihmu melingkarkan lengannya di bahumu. Kau gemetar “aku lupa cara membaca kartu, aku tak bisa lagi meramal!!” kemudian kau kembali histeris. Meramal adalah hidupmu, menaksir nasib adalah pekerjaanmu. Kau membayangkan klien yang kecewa, kau bayangkan hidupmu sulit tanpa uang.

Dengan tenang kekasihmu berkata “kau tidak mungkin lupa, kau tangan kanan Dewata, Semesta, Dhayu, dan segala tuhan di penjuru dunia. Jangan takut, sayang. Aku punya kabar baik untukmu, Bapak X yang kau ramal kemarin sore ternyata mengabarkan bahwa ramalanmu benar adanya. Tadi malam aparat datang ke rumahnya, menyita barang-barangnya. Rupanya usaha cuci uangnya disadap oleh kepolisian, sekarang ia mencari tempat persembunyian dan tentu ia minta saranmu. Nah, sekarang sayangku coba kau tanya pada kartu-kartu itu”.

Kau setengah senang karena akhirnya klienmu bertambah satu orang. Namun, kau juga menelan gundah karena sampai saat ini kau tak bisa membaca kartu-kartumu. Kau gagap, “sayangku, sepertinya aku punya kabar buruk.” Kau gemetar, gigimu gemertak. Kemudian kau kumpulkan keberanian, “aku bukan hanya tidak bisa membaca kartu-kartuku tetapi aku pun tak bisa melihat wajahmu, tanganku, kakiku, meja ini. Terakhir aku lihat semua ketika aku mengocok kartu, kusebar pertanda, namun tiba-tiba semua gelap. TERANGKU HILANG!”.

Bagai disambar petir, kuduk kekasihmu naik melawan gravitasi. Hilangnya kemampuanmu sama dengan hilangnya pemasukan hidupmu. Kekasihmu kaget, ia lari ke kamar mencari handphone dan membuka mesin pencarian. Kira-kira ini isi riwayat pencariannya, “menjadi tiba-tiba buta; apakah seseorang bisa tiba-tiba buta; why people suddenly become blind; bisakah buta disembuhkan tanpa operasi”, ia timbun kepanikan hingga larut malam tak keluar kamar. Kau ditinggalkannya sendiri dalam gelap yang kau rutuki.

Kau sumpahi gelap, kau meraba-raba udara disekelilingmu. Mencari pijakan aman untuk berjalan, kau masih hapal segala letak perabotan di rumah. Kau melangkah keluar, mencari terang yang bisa kau hirup. Kau kini berdiri di jalan raya, memegang tiang lampu tiga warna. Kau gamang. Kau gamang. Namun, ketika kau merasa bahwa selamanya kau akan hidup bersama gelap tiba-tiba datang kilatan cahaya. Warna kekuningan, tidak apa bagimu sebab yang penting dalam gelap kepalamu ada warna lainnya. Samar-samar dunia kembali punya rupa di matamu, kau senang dan gembira.
Ketika semua menjadi gelang-gemilang, bemper mobil telah berjarak satu meter dari tubuhmu. Rem diinjak, ban berdecit.

Malam menjadi ramai kembali.
Kau kembali lagi menjadi gelap..
Semua jadi gelap..
Gelap..

Dan kini kau pensiun jadi peramal.

P.S
Cerita lantur ini kutuliskan setelah menonton Ted-Ed yang bicara soal Kafkaesque. Juga setelah kudapatkan mimpi buruk.
Semoga hidup kembali kutemukan lagi.