Eksil

Tetua menepuk pundakku ketika matahari surut di horizon barat
Tetua dengan matanya yang tegas, menandakan bahwa ia adalah orang yang mesti dipatuhi
Namun dalam samar biru dan oranye, kulihat gurat kelembutan menyungging di wajahnya.
Mestilah ia tahu, betapa menjadi aku selalu berat
Aku, Soka, anak yang hadir ketika perempuan-perempuan melahirkan di masa perang
Aku tangisan yang pertama dicipta dewata
Tahukah kau siapa yang pertama menangis di dunia?
Ialah Vawa, manusia kedua setelah Aram. Vawa menangis di taman pengetahuan, di sisi kanan oase nafsu. Vawa adalah pemberontak yang lembut, seperti senyum tetua, dan pemberani. Aram adalah kebijaksanaan dewata yang dimaterialkan jadi manusia.
Aram dan Vawa bukan kekasih, tidak berkawan, tidak bermusuhan. Aram dan Vawa adalah dua makhluk yang sama-sama kenal satu dosa.
Keingintahuan.
Setidaknya begitu bagi dewata, sehingga setelah Aram sepakat dengan Vawa untuk memakan buah pengetahuan artinya mereka berdua adalah eksil dari nirwana.
Aram merasa mengkhianati dewata, ia berubah merah.
Serupa setan, eksil pertama nirwana.
Di hati Aram lahirlah kawanku bernama Murka. Kelahiran Murka begitu melelahkan, membakar kebijakan Aram, memantik kembang api di kepala.
Aram marah pada dewata, pada dosanya, dan pada Vawa yang bagi dirinya bukan siapa-siapa
Vawa si pemberontak seketika melunak air mukanya
Dan lahirlah aku, Soka, dari kedua matanya
Sebelum keduanya pergi ke luar nirwana
Dewata memberikan kesempatan bagi keduanya berkemas
Mengambil buah-buah, air, tanah, akar, dan batu untuk dibakar
.

P. S
Tidak jelas mau cerita apa, tapi yang pasti aku sedang ingin menulis saat itu

Marda dan Darma

Marda tengah memutar-mutar saluran tv ketika pintu diketuk tiga kali berirama. Dengan langkah gontai ia jalan menuju pintu depan, di sebrang Marda kini tengah berdiri laki-laki berambut gondrong sepundak dan tas selempangnya. Celananya model Elvis Presley dengan kaus hasil tie-dye sendiri, memang terlihat sangat norak. “Darma! Long time no see, kangen banget aku” Marda menyambut tubuh Darma yang setengah ambruk, tenaganya habis terkuras siang yang panas.

“Marda, ini aku bawain oleh-oleh khas Jogja. Lukisan terakhirku, soal aku dan Jogja” Darma menyerahkan kanvas yang dibungkus koran. Mereka bercakap-cakap, bertatap-tatap, hingga akhirnya Darma memasang wajah serius. Alisnya beradu, namun dalam hitungan detik berubah turun dan sedih. Ia jelaskan maksud kedatangannya, sebagaimana telah ia jabarkan pada Marda lewat pesan singkat dua hari lalu. Marda memeluk Darma begitu erat hingga menyatulah jiwa-jiwa mereka ke dalam satu tubuh. Darma hinggap di dada Marda yang hangat, ia tumpahkan segala kehidupannya pada Marda.

Seusai melepas rindu, Marda menyalakan keran dan mengisi bak mandi. Darma seakan telah diberi aba-aba kemudian masuk ke dalam bak mandi dan duduk, meninggalkan setengah ruangnya untuk Marda. “Dar, kamu yakin mau ngelakuin ini?” Marda berusaha untuk tetap menyala meski keduanya telah menjadi layu dan kuyu. Mata Marda telah menjadi kehitaman dan merah karena dua hari ia tidak bisa tidur sedangkan Darma, bibirnya masih bergetar sisa menangis semalam. Mereka kemudian bicara soal kehidupan dalam bak mandi.

“Mar, semalam aku berpikir bahwa ternyata aku tidak gandrung pada kematian, aku tidak kagum pada malaikat maut. Bahkan ini bukan karena kematian begitu gelap, dan aku suka gelap, tapi karena pikiran aku dimanipulasi

“Hah? Dimanipulasi gimana?

“Iya, aku dikonstruksi masyarakat untuk segan pada kematian, untuk berbuat sebaik-baiknya agar siap menghadap kematian. Padahal ya setelah aku pikir-pikir, manusia ya hanya gandrung aja pada kehidupan. Kematian bukan kegelapan, Mar.

“Halah, konstruksi atau taik kucing apapun itu, Dar aku ga ngerti kamu ngomong apa tapi aku sepakat sama kamu. Jangan-jangan yang gelap itu kehidupan ya, Dar hehehe

“Enggak tahu juga, Mar aku juga bingung tapi aku udah ga sanggup lagi begini”

Lalu senyap selinap di antara lilin-lilin yang menuju habis, air hangat telah menjadi dingin dan tubuh mereka berdua telah menjadi keriput. Untuk terakhir kalinya mereka berpelukan dan menangisi kehidupan, berkali-kali hingga keduanya basah oleh penderitaan. Ketika kehampaan mengisi tubuh-tubuh yang kosong, keduanya saling menggigit nadi hingga putus. Darah ruak keluar, bersatu dengan air di bak mandi. Derita telah jauh pergi, derita telah jauh pergi larut bersama bumi.
Marda memperhatikan air di sekelilingnya “Tuh kan, apa kataku hidup itu yang gelap, Dar” Marda tersenyum getir. Pahit sekali. Di detik-detik terakhirnya, Darma memeluk Marda “Ayo, Mar kita tuntut tuhan dan semesta yang begitu tak adil pada kita”. Mereka tenggak air mata hingga tenggelam lalu mati.
Merah itu darah. Merah itu darah.

P.s
Kata sandi: apa yang dimaksud Marda sebagai kegelapan

Liyan

IMG_20171013_130750036aku mau telanjang saja
Aku heran, “ada apa?”
aku mau telanjang saja
Begitu kau ulang
Tapi kita telah bermain banyak semalam
Telah bicara banyak pula semalam
Apa kau merasa kurang?
aku mau telanjang saja
Lagi, kau ulang kalimat yang sama
apa kau mau ikut telanjang?
Kau ajak aku turut bersama
lalu apa?” aku bertanya
Kau diam, seakan diam adalah jawaban
Aku tak biasa telanjang
Kecuali mandi dan bercinta
tidak mau, dingin!
Kau tak kecewa, tak cemberut seperti biasa
Kau mengangkat bahu dan berkata
ya sudah jangan menyesal
Kau lepaskan busanamu satu-satu
Kaus hitammu geletak di kasur
Kaki-kakimu angkat satu-satu
Melepas kemelekatan pada celana tidurmu
Lalu baju dalam yang kau lempar sembarang
sudah
Kau semakin indah
Kau angkat suara, “aku mau telanjang saja”
“kau sudah telanjang” kataku heran
belum, aku belum telanjang” katamu membantah
aku mau telanjang! T E L A N J A N G” katamu mulai marah
tapi kau sudah, sayang. Kau sudah menjadi bulat, kau sudah menjadi…”
“tapi bukan itu! Aku mau telanjang, dan kau belum melihatku telanjang” katamu membentak marah
Kau meringkuk, merebut sepi menjadi selimut
Jadilah aku telanjang
Melepaskan segala tanda tanya dari badan
Kulekatkan bibir wajahmu
Tapi kau lebih dulu meringkuk ke dalam dadaku
Dada yang tak bidang tetapi berpunuk
Kau benamkan kepala jauh ke dalam tubuhku
Seakan aku akan melahirkan kau
Tak kurasakan putik sari yang senantiasa kita sesap ketika telanjang
Kita hanya bernafas
Matamu tak dilekatkan padaku tetapi pada kegelapan yang mewujud di dalam kepala
sayang..” kau leburkan segala tanya
iya?” kuberharap ada sebuah jawab
aku mau telanjang saja” kau ujarkan seperti sebuah doa
Terus
Terus
Terus sepanjang hari

Peramal yang pensiun

Di perbatasan aku lihat engkau yang gamang akan menyebrang, jalanan sepi dan rokokmu tinggal setengah batang. Setengahnya lagi habis dimakan angin, dimakan gelap, dimakan api. Kau tukang ramal tentu kau paham bagaimana kartu bekerja. Namun, tadi pagi kau lupa cara membaca kartu. Kau lupa cara membaca pertanda. Kau raba korekmu, kau pantik api namun tetap kau hampa dalam pikiran-pikiranmu. Kau jadi sensitif padaku, tak mau kudekati, tak mau lagi berbagi. Aku yang disebrangmu juga ikut bingung, apa benar kau mau pergi?

Kemarin sore kau tertawakan manusia, katamu “lihat manusia-manusia tak berdaya, tak mau percaya. Padahal Dewata telah bertutur irama, mereka tetap tak percaya. Coba manusia lebih peka pada pertanda, bukan hanya bersandar pada satu wacana. Lihat aku, tentu aku percaya Dewata tetapi juga percaya pada Dhayu, pada Semesta, pada Alam Raya. Aku menolak percaya satu kitab, satu buku.”

Tapi coba kini lihat, jangankan pada entitas yang serba maha (sebab selalu kau tulis dengan huruf kapital), pada aku pun kau tak lagi percaya. Kini selalu kau dambakan terang, kau larut pada terang. Aku ingin berkata “mampus kau, makanya jangan sok paling bisa mengerti pertanda” tapi kuurungkan ketika kulihat bibirmu kering, matamu berceluk, hidungmu berair, nafasmu tak lagi memburu. Aku kasihan tetapi tidak kasihan, makhluk semacam kau tak perlu kukasihani (sebab kau sendiri benci mendapat iba). Kekasihmu pergi, ia terlampau kaget pada segala perubahanmu sehingga kini kau membasahi bibir dengan ludahmu sendiri (namun ludahmu sekarang pun telah kering, tubuhmu tak lagi punya air).

Tadi pagi kau buka kartu, kau panggil energi, kau panggil masa depan untuk hadir di mejamu. Akan tetapi, tiba-tiba kau menjadi gagap membaca, kau gagu tak bersuara. Aku hadir dan duduk di antara tubuhmu serta kursi, terhimpit oleh terang membentuk potongan tubuhmu yang gelap. Kau teriak, tentu mengagetkan sebab waktu menunjukkan pukul enam pagi. Kekasihmu bahkan panik bukan kepalang, ia lari menuju sumber suara. Ia dekap tubuhmu “ada apa? Kau baik-baik saja, sayang?”, sekelumit dari takutmu secara gaib luntur. Sebab kau tahu, kekasihmu melingkarkan lengannya di bahumu. Kau gemetar “aku lupa cara membaca kartu, aku tak bisa lagi meramal!!” kemudian kau kembali histeris. Meramal adalah hidupmu, menaksir nasib adalah pekerjaanmu. Kau membayangkan klien yang kecewa, kau bayangkan hidupmu sulit tanpa uang.

Dengan tenang kekasihmu berkata “kau tidak mungkin lupa, kau tangan kanan Dewata, Semesta, Dhayu, dan segala tuhan di penjuru dunia. Jangan takut, sayang. Aku punya kabar baik untukmu, Bapak X yang kau ramal kemarin sore ternyata mengabarkan bahwa ramalanmu benar adanya. Tadi malam aparat datang ke rumahnya, menyita barang-barangnya. Rupanya usaha cuci uangnya disadap oleh kepolisian, sekarang ia mencari tempat persembunyian dan tentu ia minta saranmu. Nah, sekarang sayangku coba kau tanya pada kartu-kartu itu”.

Kau setengah senang karena akhirnya klienmu bertambah satu orang. Namun, kau juga menelan gundah karena sampai saat ini kau tak bisa membaca kartu-kartumu. Kau gagap, “sayangku, sepertinya aku punya kabar buruk.” Kau gemetar, gigimu gemertak. Kemudian kau kumpulkan keberanian, “aku bukan hanya tidak bisa membaca kartu-kartuku tetapi aku pun tak bisa melihat wajahmu, tanganku, kakiku, meja ini. Terakhir aku lihat semua ketika aku mengocok kartu, kusebar pertanda, namun tiba-tiba semua gelap. TERANGKU HILANG!”.

Bagai disambar petir, kuduk kekasihmu naik melawan gravitasi. Hilangnya kemampuanmu sama dengan hilangnya pemasukan hidupmu. Kekasihmu kaget, ia lari ke kamar mencari handphone dan membuka mesin pencarian. Kira-kira ini isi riwayat pencariannya, “menjadi tiba-tiba buta; apakah seseorang bisa tiba-tiba buta; why people suddenly become blind; bisakah buta disembuhkan tanpa operasi”, ia timbun kepanikan hingga larut malam tak keluar kamar. Kau ditinggalkannya sendiri dalam gelap yang kau rutuki.

Kau sumpahi gelap, kau meraba-raba udara disekelilingmu. Mencari pijakan aman untuk berjalan, kau masih hapal segala letak perabotan di rumah. Kau melangkah keluar, mencari terang yang bisa kau hirup. Kau kini berdiri di jalan raya, memegang tiang lampu tiga warna. Kau gamang. Kau gamang. Namun, ketika kau merasa bahwa selamanya kau akan hidup bersama gelap tiba-tiba datang kilatan cahaya. Warna kekuningan, tidak apa bagimu sebab yang penting dalam gelap kepalamu ada warna lainnya. Samar-samar dunia kembali punya rupa di matamu, kau senang dan gembira.
Ketika semua menjadi gelang-gemilang, bemper mobil telah berjarak satu meter dari tubuhmu. Rem diinjak, ban berdecit.

Malam menjadi ramai kembali.
Kau kembali lagi menjadi gelap..
Semua jadi gelap..
Gelap..

Dan kini kau pensiun jadi peramal.

P.S
Cerita lantur ini kutuliskan setelah menonton Ted-Ed yang bicara soal Kafkaesque. Juga setelah kudapatkan mimpi buruk.
Semoga hidup kembali kutemukan lagi.