Kepergian

Malam mendung – bagian satu
Aku sedang menuangkan ingatan dalam skripsi ketika sahabatku menderu selulerku berkali-kali. Dia bilang “gue putus” aku merinding sedikit. Lalu kubujuk dia cerita, kukirimkan kata-kata mutiara barangkali bisa membantunya menghamburkan rasa. Ia bilang dirinya tidak bisa ditelfon, sambil khawatir aku bilang “gapapa nanti kabarin, ya”. Waktu menikam mata, sudah pukul dua-dua. Sahabatku akhirnya angkat suara, memecahkan rasa ingin tahuku tentang dirinya. Sepanjang cerita kuteringat pada diriku yang dulu, yang mana bagian dari diriku yang sekarang dan di masa yang akan datang. Ia menangis setiap lima menit sekali, sembari aku menahan emosi. Memang mantannya bajingan tengik! Umpatku dalam hati. Namun demikian, tentu perpisahan ini tidak pernah dibayangkannya. Baginya haram untuk bicara putus, takut nanti menyesal tidak punya status. Sedikit-sedikit aku gembira, ia lepas dari Si Buaya. Akan tetapi lebih banyak juga aku sedih dan bingung, sebab sahabatku terus menangis mendengung.
Siang larut – bagian dua
Danau kampusku terlampau hijau dan butek. Terlalu kayanya komposisi danau tersebut, airnya menjadi kental dan menyembunyikan banyak bau kematian. Danau di kampusku jadi seram, terutama setelah ditemukan tubuh tak bernafas di pinggiran. Semoga engkau roh yang sedih, tidak tersesat mencari jalan. Amin. Airmata sahabatku jatuh berkali-kali ke dagu dan hilang disambar keringnya angin pancaroba. Betapa kepergian hanya membekas luka di wajahnya. Ia mengulang lagi dialog yang sama, sore itu bersama (mantan) kekasihnya. Sahabatku mengutuk pikiran dan ide gilanya, “ini keputusan yang bener gak, ya?”. Aku kehilangan bakat cenayangku, tepatnya bakat membualku. Jadi aku analisa saja dengan logika seadanya, aku bilang dia racun dan pantas untuk ditinggalkan. Barangkali sahabatku sekarang sedang memikirkan mantannya, sedang apa dan di mana? Ah, luka membekas terlampau dalam hingga duka ia sulam. Makan tak berhasrat, apalagi tidur hanya memberikan mimpi-mimpi yang bangsat.
Betapa luka sahabatku juga membuka luka lamaku. Jadi kukabarkan kekasihku yang bermil-mil jauhnya, kekasihku yang berbeda waktunya. Aku bilang aku takut, dia bilang tidak perlu. Ia terus meyakinkan aku bahwa luka, kesedihan, dan kehampaan akan mampir nanti ketika salah satu di antara kita binasa. Ketika kekasihku dan diriku telah menjadi renta. Ah, harapan itu ingin kupanjatkan dalam doa, namun aku lupa caranya dan pada siapa. Lantas aku pikir jika yang binasa justru rasa antara kita, ia bersikeras tidak mungkin. Barangkali ia menegasikan rasa yang bisa binasa sebagai upaya untuk membuatku percaya.
Ditinggalkan – Bagian terakhir
Jam menunjukan dua-dua ketika aku buka sosial media. Guruku kembali pada alam semesta, pada sesuatu yang lebih maha. Aku tak pernah benar-benar kenal beliau, tapi sebagian dari diriku merindukan diajar dan belajar di kelasnya. Sedikit sesalku kemudian berubah bentuk jadi perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Kesedihan yang tidak aku kenal. Seandainya dulu aku lebih banyak memperhatikan, mungkin sekarang aku paham lebih banyak cara strukturalisme didebatkan. Barangkali sesalku mewujud kesedihan, sebab belum banyak idenya yang aku hisap. Minggu ini aku mendebat kepalaku sendiri. Jika Eka Kurniawan berani mengeluarkan premis “cantik itu luka” maka aku keluarkan tandingan “ditinggalkan itu luka.” Bercokolah ide bahwa kepergian meninggalkan luka, sehingga untuk apa tercipta perkenalan. Namun, aku teringat kekasihku, sahabatku, dan orang-orang sekitarku yang mana aku syukuri menjadi fondasi di masa-masa tubuh masih hangat. Apalah aku ini, bukan nabi atau rabi, hanya kesepian yang terserak di lantai bumi. Mencari kehangatan dalam tubuh orang-orang yang belum dililit kafan. Betapa perasaan ada membuat tiada melahirkan duka. Semoga damai ada di hati kita.

Penyesalan Yuichi

Kematian Chihiro membekas terlampau dalam pada diri Yuichi. Rasanya baru kemarin mereka menduga-duga cuaca dan mengutuk musim panas yang usai. Katak-katak melompat, sembunyi mencari mangsa. Hujan tak tentu masa dan jam pulang sekolah menjadi dentang yang ditunggu suaranya.
Chichan, begitu panggilan Yuichi pada Chihiro, hanya menghitung berapa kali angin berhembus dari timur ke barat selama liburan musim panas. Yuichi dengan sabar membantu Chichan memetakan arah.
Jika badai tidak datang malam itu, mungkin saat ini Yuichi sedang memakan bualan dan omong kosong Chichan.
Rumah mereka bersebrangan, artinya jika Chichan belum tidur maka Yuichi akan meneror dengan puluhan sms berjudul “1001 lawakan sebelum tidur”.
Chichan gemar mengamati, ia senang melihat awan, bintang, serangga, ikan, laut, pohon, dan tubuhnya. Yuichi selalu di sisi kanan, memasang kuping sisi kirinya tajam, sembari Chichan berceloteh apa saja.
Beberapa kali Chichan tertawa melihat awan, beberapa kali takjub melihat ikan, beberapa kali marah melihat serangga, dan beberapa kali diam melihat tubuhnya.
Meski baru berkawan tiga tahun, Chichan memendam harapan pada Yuichi. Bukan harapan yang romantis, hanya ingin jadi kawan yang setia selamanya. Namun demikian, bagi Yuichi hidup adalah roda yang tidak tahu kapan melaju dan berhenti. Selama roda masih berputar, maka Yuichi masih terus berjalan.
Berbeda dengan Chichan yang melihat diam adalah masa ketika hidup itu menjadi ada. Ketergesaan adalah milik mereka yang mati.
Yuichi harus pergi, menuju mimpinya, melanjutkan studinya, tumbuh dengan kekasihnya, dan memiliki rumah serta keluarga. Ihwal tersebut yang membawa Yuichi menjauhi tempat kelahirannya dan menyisakan Chihiro untuk belajar menjadi kuat.
Setidaknya Yuichi selalu berdoa agar Chichan menjadi kuat.
Beratus pesan menjadi buntu, Chichan dan Yuichi menjadi hantu di dunia yang sibuk.
Dua tahun kemudian, Yuichi kembali bertemu dengan Chichan. Tubuh Chichan dipenuhi tulisan yang berisikan kesedihan.
Tulisan tersebut membentang dari wajah, ke lengan, ke tangan, ke payudara, ke perut, ke pinggang, ke vagina, ke paha, ke betis, ke mata kaki, dan di kuku-kuku jari.
“maaf jika aku tidak sesuai ekspektasimu”
Terus dan terus diulang hingga memenuhi tubuh Chichan. Ia seperti kertas yang robek, tubuhnya hitam karena tinta spidol.
Polisi menyatakan Chichan murni bunuh diri. Lehernya patah dan paru-parunya mengalami trauma.
Jika Yuichi berucap “halo” setahun lalu, mungkin Chichan masih tertawa melihat awan.
Yuichi menelan kesedihannya, lalu meminum masa-masa kelam. Chichan hadir dua malam kemudian, memeluk Yuichi dalam mimpi yang hanya datang sekali seumur hidupnya.