Bangkitnya Matsarya

Kamu tahu?
Akhir-akhir ini sosok monster, musuh bebuyutan saya menunjukkan taringnya
Malam ini masa penghabisannya, saya dan ia, sudah begitu lelah main kucing-kucingan

“Eng..Engkau.. Mengapa kau datang dan mengaisi dimensi yang tak pernah bisa mawujudkan tubuhmu?”.

Ia terdiam, bibirnya mengatup sungguh rapat hingga timbul kerut-kerut yang tegas. Alisnya turun tetapi terlihat mengeras, seakan menahan rupa-rupa lahar api yang siap menyembur. Lalu tertawa, melangkah angkuh seakan tidurnya selama ratusan abad berakhir. Sebentar lagi ia mendapatkan raga, dengan api dan kuasanya sendiri.

Reborn.
hidup, mati, lalu hidup kembali.

“Hei kau wujud munafik, sampai kapan hidupmu mentas di atas panggung? Pori-pori wajahmu rusak karena ditiban alas bedak murah dan senyum palsu. Senyum yang kau kira menarik setiap manusia? Cih!
“Tiadakah lelah di wajahmu? Melelahkan bukan menyajikan pentas yang diinginkan penonton, bukan dirimu”

Saya kalah telak, makhluk ini memang setan alas kurang ajar. Kali ini bukan pentas, kelak saya paham bahwa peperangan ini nyata.

“Matsarya, pergi kau! Tempatmu bukan disini, tak pernah selamanya disini. Kembali pada kandangmu, pada pasungmu, pada tempatmu dipancang dan dicambuk”

Ia tertawa dan mencoba batuk, seakan ada realita yang amat pahit segera dilontarkan
“Saija! Tidak perlu congkak, posisimu sederajat dengan saya. Kamu juga hina. Kamu rekaan perupa. Begitu lama kau bertuan padanya, masih tak jua sadar”
“Tapi saya proyeksi perupa yang sebenar-benarnya, saya kaki serta tangan kanannya”
“Itu karena perupa begitu malu mengakui namanya sendiri dalam tulisan yang ia tulis. Jadi, namamu adalah pelarian perupa terhadap rasa-rasanya yang tak sanggup ia akui sebagai dirinya”
Matsarya, bedebah sialan. Tiba-tiba saya jadi gerah dengan sikapnya dan berburuk sangka pada perupa dengan membangkitkan Matsarya dari tidur panjangnya.
“Matsarya, saya tidak mau Semesta marah dan menghukum perupa karena peperangan yang tak usai ini. Kembalilah, tempatmu bukan disini. Mawujudlah pada tubuh yang lain, jangan pada raga yang saya sayangi ini.”

Jari-jari Matsarya yang tajam seperti ekor kalajengking, beracun dan mudah terpancing. Sedangkan Saija hanya makhluk lemah yang percaya bahwa ialah satu-satunya rekaan yang paling disayang hingga kini. Tiada yang lain. Tanpa khianat. Kebangkitan Matsarya rupanya menyakitkan bagi perupa, Saija tahu bahwa kesetiannya pada perupa tidak bertepuk sebelah tangan.
Namun demikian, apa yang dialami perupa hingga ia harus membangkitkan Matsarya?
Adu mulut kemudian pindah pada suara batin masing-masing, yang satu senang melihat kemenangan menanti di ufuk timur sedangkan lainnya berkecamuk pada kesetiaan atau sebuah pengkhianatan.
Lamat-lamat, Matsarya berdiri dengan pongah dan menghampiri Saija. Matsarya seakan menyapu segala kata yang sudah Saija siapkan, perupa kini berpaling dari matanya. Kemudian Matsarya menjentikkan jari dan muncul di tangannya ribuan lipan kecil menggeliat mencari lubang yang lembab dan pengap.
Senyum dari Matsarya adalah hal yang terakhir ia lihat, telinganya menjadi tuli, indra penciumannya menjadi sumbat, lidahnya kelu, dan penglihatannya kabur.
Ia bernama Matsarya Durmatih

P.s:

Dituliskan lebih awal pada laman yang lain, hari Kamis 21 Juli 2016. Kemungkinan besar kebangkitan Matsarya menjadi wujud yang bertahta tahun ini. Semoga tidak. Semoga tidak. Semoga tidak.

P.p.s:

Kemudian cerita ini saya edit lagi, sepertinya kata perupa lebih tepat dari pencipta

 

Galeri hari jumat

image

Sebuah karnaval.
Sebuah pesta.
Tempat paling hangat, seakan sinar sang surya
       membasuhmu pada senja terakhir di hari Minggu
Ia adalah pintu,
     gerbang kehidupan, begitu tipis jarak antara dunia kini dengan fana
Galaksi-galaksi bagi para pecintanya,
      yang mengasihinya serta pemiliknya.

Kamis

Kadang di bibir tebing, Saija masih meragu akan yang fana dan kekal
Akan yang baik atau yang buruk
Apa yang kanan dan kiri
Tercekat dalam ruang autis, takdir menyusun rencana taktis
Apa yang menjadi kembarannya, menjelma pula jadi bayang berkebalikannya
Siku-siku yang aus, tipis dan membiru
Luka tak hanya membekas, durganya kekal dalam jiwa
Mungkinkah dalam gulita, sukmanya yang benderang bersemayam
Ataukah pendar-pendar itu justru memakan pekat-jelaga-pukat yang mendiaminya?
.
P.S :
Ketika di ambang pilu, rasa terproyeksi pada tulisan yang jujur nan melankoli (juga hiperbola).
P.P.S. :
Terimakasih yang sudah baca (dan komen), rupanya hal tersebut membangkitkan selera untuk menulis.