Marda dan Darma

Marda tengah memutar-mutar saluran tv ketika pintu diketuk tiga kali berirama. Dengan langkah gontai ia jalan menuju pintu depan, di sebrang Marda kini tengah berdiri laki-laki berambut gondrong sepundak dan tas selempangnya. Celananya model Elvis Presley dengan kaus hasil tie-dye sendiri, memang terlihat sangat norak. “Darma! Long time no see, kangen banget aku” Marda menyambut tubuh Darma yang setengah ambruk, tenaganya habis terkuras siang yang panas.

“Marda, ini aku bawain oleh-oleh khas Jogja. Lukisan terakhirku, soal aku dan Jogja” Darma menyerahkan kanvas yang dibungkus koran. Mereka bercakap-cakap, bertatap-tatap, hingga akhirnya Darma memasang wajah serius. Alisnya beradu, namun dalam hitungan detik berubah turun dan sedih. Ia jelaskan maksud kedatangannya, sebagaimana telah ia jabarkan pada Marda lewat pesan singkat dua hari lalu. Marda memeluk Darma begitu erat hingga menyatulah jiwa-jiwa mereka ke dalam satu tubuh. Darma hinggap di dada Marda yang hangat, ia tumpahkan segala kehidupannya pada Marda.

Seusai melepas rindu, Marda menyalakan keran dan mengisi bak mandi. Darma seakan telah diberi aba-aba kemudian masuk ke dalam bak mandi dan duduk, meninggalkan setengah ruangnya untuk Marda. “Dar, kamu yakin mau ngelakuin ini?” Marda berusaha untuk tetap menyala meski keduanya telah menjadi layu dan kuyu. Mata Marda telah menjadi kehitaman dan merah karena dua hari ia tidak bisa tidur sedangkan Darma, bibirnya masih bergetar sisa menangis semalam. Mereka kemudian bicara soal kehidupan dalam bak mandi.

“Mar, semalam aku berpikir bahwa ternyata aku tidak gandrung pada kematian, aku tidak kagum pada malaikat maut. Bahkan ini bukan karena kematian begitu gelap, dan aku suka gelap, tapi karena pikiran aku dimanipulasi

“Hah? Dimanipulasi gimana?

“Iya, aku dikonstruksi masyarakat untuk segan pada kematian, untuk berbuat sebaik-baiknya agar siap menghadap kematian. Padahal ya setelah aku pikir-pikir, manusia ya hanya gandrung aja pada kehidupan. Kematian bukan kegelapan, Mar.

“Halah, konstruksi atau taik kucing apapun itu, Dar aku ga ngerti kamu ngomong apa tapi aku sepakat sama kamu. Jangan-jangan yang gelap itu kehidupan ya, Dar hehehe

“Enggak tahu juga, Mar aku juga bingung tapi aku udah ga sanggup lagi begini”

Lalu senyap selinap di antara lilin-lilin yang menuju habis, air hangat telah menjadi dingin dan tubuh mereka berdua telah menjadi keriput. Untuk terakhir kalinya mereka berpelukan dan menangisi kehidupan, berkali-kali hingga keduanya basah oleh penderitaan. Ketika kehampaan mengisi tubuh-tubuh yang kosong, keduanya saling menggigit nadi hingga putus. Darah ruak keluar, bersatu dengan air di bak mandi. Derita telah jauh pergi, derita telah jauh pergi larut bersama bumi.
Marda memperhatikan air di sekelilingnya “Tuh kan, apa kataku hidup itu yang gelap, Dar” Marda tersenyum getir. Pahit sekali. Di detik-detik terakhirnya, Darma memeluk Marda “Ayo, Mar kita tuntut tuhan dan semesta yang begitu tak adil pada kita”. Mereka tenggak air mata hingga tenggelam lalu mati.
Merah itu darah. Merah itu darah.

P.s
Kata sandi: apa yang dimaksud Marda sebagai kegelapan

Percakapan dosa

Jiwaku mengawang di udara
Tak tenggelam di satu muara
Aku teriak bebas padahal nirselera
Tapi kau memang manusia asu
Kau serigala, mengaumkan berita memakan bisu
Kau tarik tubuhku dalam peraduan
Dan kau jadikan dirimu sebagai kotak pengaduan

Kau buat khayalan seakan nyata
Seakan lusa kita senantiasa bersama
Lalu percakapan yang memalukan itu, menjadi sebuah magi
Sebagai bunga tidur yang diamini setiap pagi

P.s
Aku takut berdosa (dan khayalan ini hanya sekadar pemanis relasi kita saja)
Aku takut sebab aku rutuki percakapan ini
Tapi mulai kuimani bahwa upacara itu harus dilakukan
Bukan karena desakan, bukan pula agar merasa aman
Sebab kutemukan perasaan tak ingin percakapan segera usai.
Dan kutemukan lagi alasan untuk tetap hidup di dunia yang brengsek ini.
Kau