Bukan sajak

Kalau nanti aku dilahirkan kembali, ku tak mau harus beradu otot dengan roh lain agar menjadi anak dari siapa.
Aku hanya ingin dilahirkan sebagai kumpulan padi, yang dibelai angin.
Atau aku ingin jadi pensil,
Atau menjadi langit,
Atau laut.

Aku ingin jadi laut,
Dan pantai serta karangnya.
Aku ingin jadi dermaga,
Atau botol kaca yang mengapung lalu tenggelam.

Rumah

image

Dibasuh Malam

Ombak terus mencari cara untuk menepi pada bibir pantai.
Namun, daratan seakan menolak dan menuntunnya pergi ke laut.
Angin tak pernah lelah mendorong ombak.
Rembulan ikut membantu romansa ketiga elemen alam.
Tiada pernah lelah mereka saling kunjung-mengunjung, tak pernah bosan pula ia menolak.

Catatan :
Masih ngeyel untuk coba melukis ala-ala.

Kisah ija babak satu

Mata-mata itu melebar
Kala Ija ingin berkata apa yang menurutnya benar
Kata para dewa, bunga-bunga kesalahan terlanjur mekar
Manusia-manusia itu menerima dengan sabar

Ija oh Ija, betapa ia ingin marah
Bukan pada dewa tetapi pada manusia
Ija ingin jadi sahabat mereka, para dewa
Tapi Ija wujudmu masih manusia, bahkan jiwamu juga!

Di atas sana, mereka meminum tuak kelas dunia
Dewa terbahak jua melihat Ija lari dari realita
Sadar atau tidak, tiada pernah manusia jadi dewa
Manusia hanya bisa berkalang langit di atas tanah

Kini Ija mencintai raga juga sukmanya
Nyata bahwa ia ingin selalu diikat relasi makhluk bernama manusia

Loh, ini apa?

picsart_1449591036472.jpg

Potret sebuah potret

Agar tidak melulu tentang mulut yang berbisik, telinga yang menggantung, dan mata yang keriput. Kadang telapak kaki bisa menggambarkan gurat hati.

Catatan :

Foto ini saya ambil dari Jakarta Biennale 2015 yang lalu. Kala itu ada satu instalasi karya Maika Elan yang menarik mata. Kumpulan foto romansa manusia tak berbatas konstruksi, foto diatas adalah satu dari kumpulannya yang sangat saya suka. Jadi sebenarnya gambar diatas adalah foto yang kemudian saya foto lagi lalu saya crop.

Percakapan

“Ja! Tiada pernah kamu paham bahwa aku, aku ini sepi, tidak berbatas tapi ingin menepi”
“Menepi tidak perlu bersandar pada manusia, bodoh!”

Catatan :
Seorang kawan menyarankan untuk berdialog dengan pasangan imajiner. Aku berhasil memanggil Saija.
Namun, dia pergi sakit hati.

Mengikuti langkahmu

Aku akan jatuh pada hitungan ke tujuh
1..
2..
3..
Aku jatuh sebelum hitungan ke tujuh
Seperti dipaksa turun dari langit
Seperti diusir dari taman firdaus
4..
5..
6..
Di sampingnya aku terbaring
Matanya seperti tapal batas lepas pantai
Rambutnya keriting mengembang diurai angin
Asanya jauh terbang menuju ufuk timur
Dimana semua yang hangat terbit dan bersinar
7..
Aku terus menikmati punggungnya
Dan mengendap-endap mengikuti langkahnya

Hasil pikir-pikir

“Kami selalu diwajibkan menjaga apa-apa yang baru ranum, biar Tuan memetiknya kala segar.
Tapi apakah kami tahu bahwa Tuan hanya memetik buah kami?
Karena kami tak mau diduakan
Sama sepertimu, tak mau dikalahkan”

Catatan :
Puisi di atas adalah sebagian dari puisi yang saya tulis ketika selesai membaca salah satu karya Djenar Maesa Ayu.
Mungkin karena saya juga sudah didoktrin oleh Ayu Utami, kedua orang ini berhasil membuat saya sadar bahwa “keperawanan” segala-galanya bagi mereka yang masih mendukung budaya patriarki. Beberapa kawan yang saya ajak diskusi mengenai hal ini ada yang setuju ada yang meragu. Intinya, saya menjadi sadar bahwa ini bukan hanya perkara siapa yang “suci dan tidak suci” tetapi juga bagaimana konstruksi ini tetap langgeng di masyarakat.
Mungkin saya kurang diskusi, mungkin juga kurang baca buku. Entahlah, hanya saja saya begitu gemas dengan permasalahan ini. Dalam salah satu literatur yang pernah saya baca (saya lupa judulnya hft-_-)  menyebutkan bahwa pandangan ini masih langgeng karena ada pihak yang diuntungkan. Menurut saya, pernikahan menjadi suatu media jual-beli “keperawanan” yang disimbolkan melalui “organ tertidur yang dimiliki perempuan”.
Sekali lagi, saya menekankan ini hanya sebuah bentuk opini yang lagi-lagi berkecamuk di kepala dan minta dimuntahkan dalam bentuk tulisan disini.
Sebagai penutup saya haturkan tanya,
“Raga dan jiwamu milik siapa?”

Tirani mata-mata

Aku bersumpah tak mau lagi jatuh cinta
Karena dia adalah puisi tanpa jeda
Atau ruang pengap tak berudara
Asu! Persetan semua kata

P.s
Sebelum post ini saya pernah berkata buah pikir saya terlihat asal dan ke-aku-aku-an. Saya berpikir lagi, puisi-puisi ini ada karena mereka ingin hidup dan ditulis disini.
Mereka membuncak! Berteriak!
“Dinda, aku ingin abadi”
Saya disudutkan, bukan pada gelap tapi pada terang yang membuat saya jengah
Akhirnya gaya tulis-menulis, susun-menyusun kata saya kembali jadi self-centered.

P.p.s

Iya, saya sedang melakukan pembelaan terhadap diri sendiri.