Dekam

Kupikir aku tidak apa-apa
Ketika aku ikut tertawa dengan mereka
Ikut bergembira bersama mereka
Ikut berdiskusi dengan mereka
Ikut bersantai satu meja
Jadi aku pikir tidak apa-apa
Jika satu hari di bulan Agustus ini
Aku duduk dulu sendiri
Melihat refleksiku di layar hitam
Mereka tanya “ada apa?”
Aku bilang “tidak apa-apa”
Mereka bilang “ayo bercerita”
Tapi tak ada yang bisa kuberitakan
Sebab aku sendiri juga lupa
Cara menuturkan kisah
Kubuat kronologis, tapi otak ini tidak tahu cara merunut perasaan
Kubuat kategorisasi, tapi perasaan ini saling berkelindan dan mawut-mawutan
Aku menelan lelah dan bingung
Lalu menelurkan upacara kesedihan sebelum tidur
Jika aku mengenal diriku, jika aku mengenal dirimu, jika aku mengenal mereka
Barangkali tidak ada sedih yang merangkak naik ke dalam mimpi
Barangkali tidak ada sunyi yang mematikan begini

Ah skripsi

Ideku buyar dilindas kereta
Kabur diklakson angkotan kota
Kuseret diam hingga berdarah
Tapi tak jua kudapatkan cerita
Rokokku tinggal sebatang
Uangku tinggal sekeping
Sedangkan tulisan masih melantur sana-sini
Lalu terus ditambal diskusi itu-ini
Kubeli waktu dengan kesibukan
Agar aku tak digerogoti ketakutan
Tapi itu hanya menunda

Fu sudah berotasi ke kanan-kiri
Bulsebul sudah kehilangan birahi
Dan aku masih menyusuri Tebet
Mengais-ngais metafor di selokan
Meraung-raung telinga untuk didengarkan

P.s
Aku merindukan Parang Jati, seperti Marja yang terus membayangkan rasa mulutnya di dalam tenda kala itu. Ekskavasi candi, folklor misteri, dan magi dari ibu-ibu tertuduh Gerwani. Andai aku yang dibantah oleh Parang Jati kala itu “aku anti naik mobil berbahan bakar fosil” mungkin kemana pun Parang Jati pergi, aku akan jadi jari keenamnya. Hinggap di tubuhnya dan menjadi satu di mimpi-mimpi erotisnya.

Tembak!

Kau tutup kelambuku
Dengan bau obat nyamuk bakar
Dan merapalkan
Dongeng-dongeng yang hilang
Dari prasasti yang dibuang
Isinya adalah
Butir-butir mesiu
Yang dimampatkan ke mulutmu
Yang meledak di tubuhku
Yang meledak di pikiranku
Kau selimuti aku dengan sesuatu
Yang seharusnya mati sebelum pagi
Yang seharusnya mati sebelum malam lagi

Kesedihan

Ular-ular yang jahat
Menelan dan melepehkan rasa malu
Dan melahirkan ratusan—hingga ribuan anak-anak ular
Lalu bertahi di atas tulisan-tulisanku
Yang ditolak pencakar langit
Barangkali ideku adalah kertas koran seminggu yang lalu
Jika tak jadi wadah gorengan, maka jadi tempat gelandangan tiduran
“tapi tak apa” kataku menguatkan
Tulisanku adalah senyap yang menjadi alas
Meski ia di bawah dan tak dibaca