Kalut

Pada sebuah batas, kutemukan diri tersendat tanda tanya yang begitu agam
Di mana tempatku seharusnya?
Pada dinding yang berbisik, pada layar yang menyalak galak
Atau pada tanah, akar, dan ranting
Pada nisan yang tak lagi kentara namanya
Atau pada monumen yang terang berkata….

Pembunuh bayaran

Namaku Rangkuti, dijadwalkan mati besok pagi
Oleh dendam yang menubuh sejak aku dikandung ibu
Kilang menyalang menjadi jelaga yang hilang
Dari limpa menuju janin yang terus menua
Aku, Rangkuti tak takut pada mati
Hanya takut pada kegagalan strategi
Yang dipupuk selama seribu-empat ratus-enam puluh hari
Bersama air tuban, kuminum hingga jadi air mani
Dengan tenaga kutancapkan belati
Bertubi-tubi di sisi rongga paru-paru, lambung, dan limpa ayahku
Yang bukan ayahku!

Reguk

Tubuhmu adalah kanvas
Lindap jadi satu dalam atlas
Seperti daratan tanpa batas
Tapi tadi pagi kau jadikan aku alas
Dan lidahmu menjadi kuas
Kau gambar laut lepas
Yang biru kehijauan, seperti mata mendapuk sungkawa
Lalu warnamu jatuh di samping bahu
Gamang hadir pada tubuhku
Serupa gradasi yang carut-marut
Membentuk lekuk-lekuk baru
Pada tubuh dan ingatanku

P.s.
16/07
Kelu aku dalam amarah, yang kau padamkan pada dadamu yang bidang. Aku tau jalan kita masih lapang.
Tuan, jangan dulu kau pulang

Berenang

Aku lupa cara berujar
Yang aku ingat hanya cara berenang untuk maju satu jalan
Tapi batas dalam rongga-ronggaku menjadi tajam dan menusuk-nusuk
Aku ditusuk tubuhku sendiri
Aku tahu cara berenang
Tapi lupa cara mengambil nafas ke permukaan
Dalam kepanikan kutemukan buku-buku jari yang membiru
Dalam waktu lima menit, aku akan jadi buih
Dan hilang dalam ingatan orang-orang
Tak terkecuali kekasihku
Barangkali yang ia ingat tentangku adalah bagaimana ia mendorongku
Sampai tergelak tawa
Ia lupa, aku tahu cara berenang
Tapi tak tahu cara mengambil nafas

Kabar

Aku pulang maghrib
Begitu kukabari kau
Aku mau segera balik
Tapi tak kau kabari aku
Bukan kujadikan kau rumah
Jangan geer!
Tapi aku tak mau sendirian
Aku tak mau ke rumah orangtuaku
Mereka bertengkar terus
Aku mengantuk
Dan maghrib segera kumandang
Tapi kau belum kabari aku
Sehingga aku tak tau kau di mana
Aku mengantuk
Dan aku kebelet pipis!
Tapi aku tak mau beranjak
Sebab setelah ke toilet mestilah aku pergi ke tempat lain
Aku belum mau pergi
Sebelum kau kabari
Tapi perpusat tutup sebentar lagi
(dan aku takut toilet segera dikunci)
Ah! Sublar!
Aku butuh kamar mandi

P.s
Aku suka menulis dengan gaya macam ini. Jujur. Lantur. Tetapi itu aku.
P.p.s.
Selang 30 detik tulisan ini selesai kau kabari aku
Katamu “takorrr”
Nahkan, benar tebakanku.
Tapi aku jadi ragu, kau sedang ingin sendiri atau aku recoki.

Taruhan!

Keping-dua keping
Esok kau angka
Lusa kau gambar

Keping dua-keping
Esok datang bahagia
Lusa hanya ada duka

Keping-dua keping
Esok kau rasa
Lusa kau entah apa

Barangkali hidup ini memang perjudian
Kasino! Lengkap dengan taruhannya