Ramalan

Hari ini Gamadi mengajakku ke satu tempat
“magis” katanya
Mungkin sudah nampak gelisah di air muka selama tiga hari ini
Mungkin Gamadi kasihan padaku
“kuberikan kau kepastian, lewat dadu!”
Seperti penjudi saja pikirku
Tapi aku memang butuh berdialog dengan alam raya
Dan tak kutemui pertanda dalam tiga hari ini (biasanya aku disapa lewat mimpi)

Berangkat aku bersama Gamadi, meminjam sihir-sihir purba
Menjadi penjudi takdir

Kocok dadu, ambil kartu
Setidaknya telah lebih dari lima kali aku coba
Hey! Aku suka pada sihir ini
Baru dan candu

Kutemukan petuah, kadang arahan untuk kelana
Gamadi rupanya menikmati pula
Jadilah dalam beberapa jam kami dihisap
Namun Danar nampak di jendela
“sihir dadu menyenakan, tapi buat apa? Hanya kepastian semu yang kalian dapat. Pseudo”

Aku ditampar
Danar sungguh tak tahu sopan santun
Merusak kesenangan
Kini tak kutemui lagi kepastian
Lewat dadu dan kartu
“kepastian barangkali bersemayam di suara dan mata, atau di kaki dan tangan (barangkali kepastian imanen atau justru kepastian tak pernah ada!). Sedangkan dadu dan kartu hanya membendung harapan, bukan kepastian”

Dini hari aku menyerah pada visual-visual di kepala
Aku tidur dan menyerah
Menyerah pada segala raga dan rasa
Aku mau tidur saja
Persetan dengan pertanda
Ini memusingkan

P.s.
Lama tak menulis cerita lantur (yang sungguh-sungguh lantur), terakhir yang kutulis adalah sekelumit kisah Saija dan Matsarya.

Surat terakhir

Aku tinggalkan pesan, 3 kalimat.

Yang pertama untuk hura-hura yang dulu kita lakukan.

Yang kedua untuk kita yang tak mengimani kehidupan tapi begitu takjub pada kematian.

Yang ketiga untuk hari esok jika kau lupa caranya bernapas bersama Semesta.

Aku pamit menuju selatan.
Kujauhi ufuk timur yang dulu kuagungkan.
Kembara tak bisa di satu tempat bung.
Kata sebuah mesin ramalan aku mesti berpijak pada tanah,
Belajar berjalan dari para binatang.
Aku harus belajar tumbuh dari tanaman.
Sehingga kembara ini tentu akan jadi filosofis (setidaknya begitu penangkapanku).

Jika nanti kita bertemu diperempatan jalan, ambil arah memutar ke kanan.
Kau mungkin tak menemukanku di sana, bung.
Tapi bisa kau cium jejak-jejak kaki yang mengering.
Aku dan keheningan, aku dengan kesunyian akan melawan kegilaan yang ada di kepala.

Surat ini adalah surat terakhir, sebab jika nanti kita bercakap lagi kau hanya perlu telinga.
Mantra-mantra akan kutitahkan pada pikiranmu, bung.
Dan ketika masa itu tiba, kita telah sama-sama kenyang dengan cerita.
Sehingga kau dan aku hanya mengenal tidur panjang di bawah pohon kenanga.

P.s.
Aku sedang lara, jadi kucari kepastian lewat ramalan (dari tarot hingga lempar-dadu). Rupanya ini rindu, bung.

Merayakan folklor

Hari raya ini hijau
Kenapa lidahku biru?
Hari raya ini coklat
Mengapa keningku ungu?
Hari raya ini pesta
Kenapa telingaku sunyi?
Hari raya ini sajian
Mengapa aku masih lapar?

P.s.
Sedang berpikir mengapa hari raya harus beli baju baru, berdandan cantik, makan ketupat dan opor ayam?
Apa yang sebenarnya kita rayakan jika esok harinya masih ada lara?

Ruang hampa

Lelap kenanga dalam tanganmu
Sebab segala rumit dan rumpang
Seperti rambut tuan yang susah disisir

Sebelumnya kau tanya
“bagaimana jika sang kambing hitam mendatangiku lebih dulu?”
“bagaimana jika ramalanmu meleset; aku yang lebih dulu berkawan dengannya?”

Di bawah gundukan, tertidur anak bumi
Mencucup air dari akar-akar serabut
Lalu berkawan dengan cacing serta lipan

Pada gugur kenanga yang keseribu; atau keseratus
Damai selinap pada tubuh-tubuh yang beku
Di antara kakimu dan kakiku, ada dingin yang memakan diri bersisa tulang

Namun, di antara kau dan aku pula
Tersemat kenanga, bersisian membentuk kalung raksasa
Menjerat kita hingga kembali menjadi tanah

P.s
Untuk seluruh kekasihku,
Kematian bukan komoditas yang bisa kau patenkan jadi milikmu seorang.

Kelana tak kenal pulang!

Dulu kita tak banyak berandai
Yang penting merayakan
Tapi ketika kau tidur dan rambutmu burai
Dan tanganmu yang serupa tanah masih dalam pelukan
Pertanyaan timbul seperti ranum buah mangga depan rumah
Banyak dan masam

Jakarta-Jogja
Kalau benar jadi nyata
Aku bisa gila

Sebab beranjak dari lelap yang hadir bersamamu
Membutuhkan waktu dua minggu
Apalagi kalau kau menjauhkan diri seribu jengkal
Aku takut temaram jadi tak kekal

Namun kusimpan takut
Dengan tetap merayakan dunia
Bersama penguasa niskala
Mawujudkan carpe diem pada mata
Hingga bahagia merasuk di semesta

P.s
Di kereta menuju Sudimara
Meninggalkan Depok dan kekasih yang asyik makan ketan sarikaya.