Kekasihku Renjana

Jakarta yang hujan hari ini, membawa sepasang mata pada air-air yang mengulir

di sela gorong-gorong stasiun Sudirman.

Renjana memikul lelahnya dalam sunyi, lalu berdoa

semoga hari tak cepat usai

Sehingga malam tiada datang, menyegerakannya kembali pulang pada kebingungan

mengapa dendam tak kunjung padam, tapi ibaku padanya selalu ada

Renjana menahan sakit pada tenggorokannya, menelan semua sedihnya

menapak kakinya pada trotoar yang setengah terbengkalai, compang dan camping

Hari itu ia pulang dengan pesan dari dokternya,

seperti air dalam gelas, Renjana mestilah merelakan masa lalunya

Renjana bingung, sebab pada masa lalulah ia justru merasa hidup

justru saat ini, Renjana berdoa untuk kembali pada masa lalu

Kini setiap sore—atau maghrib kumandang, seperti stereotip perempuan pada umumnya

Renjana mesti masuk ke kandang, menghindar dari marabahaya makhluk ghaib yang penuh celaka

Padahal nestspa justru bercokol di tempat yang Renjana sebut rumah

dendam ini mengakar di jiwanya, tapi bukankah dirinya mesti berbakti— sebagaimana mereka menyayangi Renjana di waktu kecil

Tak sedikitpun getir dan bingung yang gema hanyut bersama hujan,

sedangkan toa stasiun dengan konyolnya meneriakan jam pulang kerja tiba dan Renjana tak punya lagi alasan untuk tak menaikinya

Renjana pun menyeret tubuhnya, setengah berlari, lalu embus menerobos ramai seperti angin

Renjana akhirnya tau ia akan pulang, tapi bukan pada rumahnya.

PS

Renjana, aku harap kamu tau bahwa aku juga ingin pulang bersamamu.