Lantuk kau ambil selongsong peluru di meja, tembak aku hingga derita.
Sampai ubun-ubun meledak kena panas api neraka.
Terkam hadir dalam sekujur baju basah, dan zirahku yang lepas tak terikat.
Pulang kita berpisah, dalam kelana kau tapaki jalan berbeda.
Tak kuasa ku tahan rasa ingin jumpa, tapi apa daya tuan menumpahkan sebak kita dalam kendi-kendi durga.
Jadilah kita termangu-mangu dalam kering kerontang.
Kutangku yang kedodoran, dan kamu yang berikat pinggang.
Kita dahaga di suatu malam, mabuk dan berusaha sadar.
Namun tak pernah bisa, sebab kesadaran mengantarkan kita pada kebinasaan.
Lalu pelan-pelan selaput kaki, menginjak-injak pecahan kaca menuju pembakaran suci.
Seketika kita terbakar, menyatu pada api.
Binalnya hanya aku yang masuk pembakaran, sedang kau berdiri di tepian.
Dilarunglah abuku ke laut, setelah itu kau terpekur di sudut perahu.
Sampai jenuh.
Tanpa kail, tanpa tenaga untuk melaju.
P.s.
Tulisan ini hasil iseng-iseng belaka. Awalnya ditulis di twitter tapi tak cukup sehingga dipindah.
Asyik, sebab aku tulis semua tak berurut. Sengaja.
Apa saja yang muncul.
Jadilah kelahiran tulisan ini.
You must be logged in to post a comment.