Kuyup

Lantuk kau ambil selongsong peluru di meja, tembak aku hingga derita.
Sampai ubun-ubun meledak kena panas api neraka.
Terkam hadir dalam sekujur baju basah, dan zirahku yang lepas tak terikat.

Pulang kita berpisah, dalam kelana kau tapaki jalan berbeda.
Tak kuasa ku tahan rasa ingin jumpa, tapi apa daya tuan menumpahkan sebak kita dalam kendi-kendi durga.
Jadilah kita termangu-mangu dalam kering kerontang.
Kutangku yang kedodoran, dan kamu yang berikat pinggang.

Kita dahaga di suatu malam, mabuk dan berusaha sadar.
Namun tak pernah bisa, sebab kesadaran mengantarkan kita pada kebinasaan.
Lalu pelan-pelan selaput kaki, menginjak-injak pecahan kaca menuju pembakaran suci.
Seketika kita terbakar, menyatu pada api.
Binalnya hanya aku yang masuk pembakaran, sedang kau berdiri di tepian.

Dilarunglah abuku ke laut, setelah itu kau terpekur di sudut perahu.
Sampai jenuh.
Tanpa kail, tanpa tenaga untuk melaju.

P.s.
Tulisan ini hasil iseng-iseng belaka. Awalnya ditulis di twitter tapi tak cukup sehingga dipindah.
Asyik, sebab aku tulis semua tak berurut. Sengaja.
Apa saja yang muncul.
Jadilah kelahiran tulisan ini.

J e d a

Akan jadi dosa kalau kau bilang kita dibuat hangus oleh jeda,

Karena toh jeda tak pernah nyata, ia merupa waktu yang sekadar tiada

Namun belum selesai aku bicara, tamparmu lesat ke wajahku

“Jangan main-main dengan Buto Kala.” Katamu. Aku hanya diam mengangguk.

Sepi lalu muncul di antara kita. Aku ingin bilang bahwa mungkin ini jeda.

“Namun toh kita tak jadi hangus.”

Tapi aku takut, nanti kamu bilang aku main-main dengan Sang Kala,

dan dengan segala aksara yang sengaja dirangkai-rangkai, padahal jujur.

Jadi kubilang saja, “Kunyalakan lampu ya. Biar jadi terang.”

Lalu marahmu lesat lagi ke rajahku. Katamu terang itu berisik.

Jadilah kita berdamai dengan yang temaram. Tapi bukan remang-remang seperti di warung ujung.

Yang isinya supir truk berseliweran keluar masuk berbau anggur oplosan.

Jadilah kita bicara soal segala perkara yang biasa.

Soal ujianmu yang tak kunjung usai.

Soal jiwa kita yang sedang mengembara.

Soal kelanaku pada lahan yang dirampas penguasa.

Lalu soal tuhan, yang menurutmu takkan peduli pada keberadaan kita.

Namun pada ceritaku yang kesebelas, kau tak menjawab. Tak beri aku ruang pula untuk bicara.

Jadilah kita sama-sama bertapa; membuat jeda jadi lesap dalam antara.

Kutulis untuk Nona Aksara Danar, yang hadirnya merekahkan temaram.

Sebagaimana katamu, semoga jeda tak menghanguskan kita.

-Dirgantara

P.s.
Prasasti yang menjadi pertanda bahwa tlah ku temukan kawan bertukar puisi.
P.p.s.
Semoga keharusan untuk menulis selalu mengalir dalam darah.
Salam,
Danar

Labirin

Barangkali kita memang labirin
Seperti usus dua belas jari
Yang menyekat-sekat diri

Putar aku, samakan warnaku
Tapi kau menolak, tak seru

Kau berikan aku ide
Agar selalu kita dalam parade
Aku tanya “lalu apa?”
Katamu “rahasia”
Bisik lalu padam di suatu malam

P.s.
Sungguh aku penat dengan uas, dan sialnya ide gila selalu datang saat-saat begini.

Luka

Maaf Sri Wisnu,
Aku tak mampu lagi membaca waktu
Bagiku besok, sekarang, lampau
Cukup mewujud pada satu

Hidup di pembuangan
Hanya membuatku berpikir soal makan
Atau berusaha membujuk para setan
Membuat uang mengalir seperti air keran

Tapi tidak, memang ini bukan perkara uang
Ini soal perampasan ruang
Soal aku dan adik-adikku yang hidup di ambang
Sedangkan Bapak juga Ibu pergi ke medan perang

Tak banyak ku pinta
Cukup lumat saja mereka
Yang mengaku abdi negara
Halah! Cuih! Abdi bersenjata
Menembaki kami dengan gas air mata
Dan mengagungkan sebuah bandara

P.s.
Kutuliskan puisi ini ketika anglob masih sisa 1.600 kata lagi.
Sambil mengingat percakapan dengan adikku yang baru pulang kelana dari nagari antah-berantah. Sungguh jauh sebab berita duka di sana tak sampai ke telinga (baru sampai ketika adikku pulang).
Semoga kalian tetap sehat.

Dupa

Dhayu,
Genap sudah sembahku
Terkecup punggung kakimu

Maka,
Tak mungkin kau bongkar
Pusaraku dalam tapa

Sebab,
Waktu memang berkelana
Yang hidup menghisap rupa

Kemudian,
Karam sudah segala wujud
Semasa satu batang dupa

P.S.
Bahagia, sungguh. Sebab ku temukan lagi gairah menulis yang sempat redup. Lagi-lagi, ide mengucur deras di gerbong kereta yang sumpak dan sesak.

Karam

Ku rasakan kesedihan begitu dalam
Hingga mengekerut paru-paruku
Membiru kedua tanganku
Reka wajahmu yang dimakan pilu

Makan, makan, makan
Beri aku obat dari lapar
Serit rambut-rambutku dari citramu
Yang mengerat di ujung, langu

P.S.
Lucu, sebab ide mengucur deras di gerbong kereta yang sumpak dan sesak. Keajaiban selalu tiba-tiba, puja puji Semesta.

Rumah yang terbakar

Pagi, perempuan membanting pintu
Laki-laki memecahkan piring
Anak-anaknya menjadi kuyu di pojok kamar

Pekarangan rumah berubah
Tanahnya pudar dan masam
Tanaman kemudian jadi layu

Malamnya, satu rumah terbakar hangus
Temboknya rebah, jendelanya hitam
Tikus-tikus mati terpanggang

Tak ada rumah bagi mereka
Di wujud nyata, di mata
Di wujud maya, di jiwa

Satu dan dua

I

Satu ketika kamu datang dengan sepeda tua
Warna langit hijau, sedangkan air hujan merah bata
Kamu sandarkan sepeda pada dinding kota yang rapuh
Padahal dari beton seharga satu ton beras

Kita berhujan-hujanan hingga baju menjadi luntur
Lalu kita telanjang, tanpa busana serta sepatu
Sebab kita lempar jauh-jauh sepatu penyakitan itu
Sepatu yang terjangkit kanker paru-paru

Lalu banjir merendam kaki-kaki kita
Selokan diisi air putih, sewarna susu
Orang-orang menciduk segelas, lalu meminumnya
Mereka pikir itu dari sapi-sapi di surga

Pabrik konveksi sedang merendam kain-kainnya
Dengan pewarna, sewarna kafan
Untuk membungkus mayat-mayat
Dari mereka yang mati dilumat oleh lintah darat

II

Kamu datang dengan air muka serius
Kamu bilang uang negara kita digerus
Oleh para pejabat-pejabat tikus

Aku mengangguk dan mengusap keningmu
Ku bilang jangan terlalu berapi-api
Nanti kamu terbakar sendiri

Kamu bilang kalau aku main aman
Aku hanya manusia yang tak memahami ambisimu
Dan kamu lah manusia visioner abad millennium

Aku gigit kupingmu gemas
Lalu aku katakan bahwa kamu bukan visioner
Tapi tidak realistis dan dangkal

Kamu minum teh hangat di meja
Lalu kamu sadarkan lagi pilu
Pada dua pahaku

Aku berkata tak ada gunanya
Gundah ini milik negara bukan kita
Lebih baik kita ke kamar dan bercinta

Tapi birahimu lagi pudar
Oleh pilu-pilu atas kawanmu
Yang ditembak mati bulan lalu

P.S.
Biar saja deh sekalian terlihat betapa payah puisi-puisiku. Peduli setan!