Yang tidak jadi disembunyikan

I

Tuan, inginku
Mengusir sebak di dadamu
Tapi itu hanya alasan
Bagi diri untuk bertemu

Mari kita tahan-tahan sedih
Untuk dua hari lagi
Setelahnya akan kuserapahi
Jarak yang hangus dimakan api

II

Jika setelahnya kita bicara,
soal mata, huma, jiwa, rupa
Marilah kita nikmati sampai lupa
bahwa segala yang ada pada kita adalah fana

Maka semalam aku berdoa,
semoga kau selalu sukacita
Sebab tak ada yang bisa kusembahkan
selain diri yang serba berantakan

III

Di dadaku yang coklat
Kau jadi merah yang rekah

Di rambutku yang abu
Kau jadi hijau yang riuh

Di bibirku yang hitam
Kau tak jadi warna apa,
kau jadi celuk bagi cerita muram
Kau bawa indigo serta gelora,
dan usir segala nestapa yang menua

Sajak ketika kere

Aku hidup dalam dunia klenik
Makan buka ramalan
Mau mandi buka ramalan
Sambil berak juga buka ramalan

Mau bercinta buka ramalan
Bayar uang kuliah buka ramalan
Eh, salah! bayar kuliah buka tabungan
Tak apa demi menjemput pengetahuan

Ah! Tapi pusing juga kalau begini
Tiap semester bayar lima jeti!
Urus-urus keringanan susahnya setengah mati
Ya sudah, ku mampuskan saja diri

Ya.. Ya.. Ya..
Ku lanjutkan lagi ya
Pegang hp buka ramalan
Baca berita sambil buka ramalan

Hidup di dunia klenik, memang harus siap termangu-mangu
Apa-apa serba tak pasti, hidup ragu-ragu

Orang-orang penguasa singgasana
Tak kenal dengan ramalan
Hidupnya selalu pasti
Wajah dan busananya selalu apik

Mereka hidup dengan kepastian
Mau makan tidak perlu buka ramalan
Cukup jual gunung jadi semen
Sehingga hidup tetap perlente dan keren

Ya.. Ya.. Ya..
Tapi hidup bersama penguasa singgasana juga memberi kepastian
Pasti kami tak bisa sejahtera
Tetap bersyukur, setidaknya hal itu ialah kepastian yang tak perlu diramalkan

Masturbasi

Tiga pagi, dini hari
Belum tidur setelah kelahi
Kantuk serang mata
Kau serang kepala

Jadilah raga enggan lelap
Sebab sayang, sedang kenang-mengenang
Diteguk lara sekali sesap
Dan kau sayang, kubayangkan tidur telentang
Lalu aku menangkup di atasnya

P.s.
Kutulis sebagai penanda bahwa diri begitu egois. Terimakasih pada kau karena telah ada dan menjadi ada.

Semoga gunung tetap menjulang

Aku lihat
Sulur-sulur kering melingkar di pagar
Sulur kering yang dahaga

Tidak lagi aku temukan
Kehijauan menjamah memeluk aspal istana
Aspal hitam yang congkak dan angkuh

Dahulu sekali, ketika tanah masih telanjang
Orang hidup memeluk gunung
Wujud sembah pada yang agung

Kini orang jadi bercita-cita dikirimi tulah
Tanah dipakaikan baju
Gunung dihajar hingga biru
Laut ditumpahkan pewarna kelabu

Akar serabut dilarang menyetubuhi tanahnya sendiri
Langit semakin dijauhkan dari Bumi
Sebab tiang dibuat rebah pada kaki

Aku lihat, hidup sudah diujung jalan
Pada mata-mata yang cekung
Dan sulur-sulur di pagar istana
Telah menjadi coklat dan layu

P.s.
Setelah dua mata kuliah hari ini, Antropologi Kesenian dan MMI, aku jadi sadar banyak hal.
Pada siapa kita bertanya soal keadilan? Pada mereka yang duduk di singgasana?
Maka dari situ pula aku temukan alasan menjadi akar
Dan caraku untuk menjadi akar adalah menulis suara-suara yang diredam

P.p.s
Kutipan dari puisi WS Rendra yang berjudul Sajak Sebatang Lisong

Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan

Semoga api tetap nyala. Eimen.

Seribu

Satu depa perjalanan
Satu detik berguguran
Dua langkah bersisian
Dua kaki berpagutan

Tiga hari jadi tulang
Tiga nama lalu hilang
Seribu langkah menuju terang
Seribu malam kalah perang

P.s.
Tulisan yang sungguh lantur ini bukan buat sesiapa atau karena apa.
P.p.s.
Berdialog dengan diri sendiri.

Hingga jadi tulang

Lidahmu jadi ringkai
Tandas kata-kata kau rangkai
Hanya cekat di kerongkongan
Ludahmu berada di mulutnya
Ludahnya tak ada di mulutmu

Kuncung di kepalamu copot
Ketika kalian saling pelorot
Setelah itu duduk manis tepi kasur
Sambil menikmati neraka

Beku, bukan waktu
Tapi tubuh

Idemu di kepalanya
Idenya tak di kepalamu
Dadamu merah rekah
Dadanya dingin biru

Kau koyak, jadilah ia loyo
Kau setubuhi, jadilah ia birahi
Tapi nihil, tak kau temui jiwa
Tak lagi kau temukan muara
Beranjak ia pergi kembara

Jadilah kau termangu-mangu
Matamu nanar, bibirmu memar
Ia bawa semua baharmu
Tapi tak ia bawa tubuhmu

P.s.
Ditulis ketika berjanji tidak lagi menulis puisi lantur. Ternyata diri ingkar lagi (lagi). Pembawa lentera datang bawa nubuat, pembawa lentera datang bawa nubuat.

P.p.s
Nestapa datang setelah pisah di Manggarai.