.
.
I
Tuang tuakmu serupa ruah segala gulana
Dalam gelas-gelas kayu, ceracau jadi ingar-bingar yang tak kunjung redam
Mari berpesta selagi raga masih diguyub jiwa
II
Tak perlu nona tunggu mata itu
Di lantai kayu yang lapuk, atau angin yang terobos masuk dari celah pintu
Kelak rupa bahasa akan sampai depan muka meski lidah tuan telah kelu terluka
I
Di malam yang lengang, jubah penyihir telah disampir pada langit-langit
Sehingga hitam melahap kumpulan bintang milik penyair romantis
Tak ada lagi pembatas bagi insan yang rindu akan gurindam Semesta
II
Selama penantianmu nona
Bisa berujung pada tawa yang rebak
Atau segala mata yang sebak
Sehingga seperti kata Matoa yang kau jadikan sandaran kini
“Tuang lagi tuakmu, nona
Rayakan malam yang begitu gemuruh dalam gelap”
Ayo minum
Ayo minum
P.s.
Mengapa diri ini terus menerus mendulang?