Mata yang luntur

.
.
I
Tuang tuakmu serupa ruah segala gulana
Dalam gelas-gelas kayu, ceracau jadi ingar-bingar yang tak kunjung redam
Mari berpesta selagi raga masih diguyub jiwa

II
Tak perlu nona tunggu mata itu
Di lantai kayu yang lapuk, atau angin yang terobos masuk dari celah pintu
Kelak rupa bahasa akan sampai depan muka meski lidah tuan telah kelu terluka

I
Di malam yang lengang, jubah penyihir telah disampir pada langit-langit
Sehingga hitam melahap kumpulan bintang milik penyair romantis
Tak ada lagi pembatas bagi insan yang rindu akan gurindam Semesta

II
Selama penantianmu nona
Bisa berujung pada tawa yang rebak
Atau segala mata yang sebak
Sehingga seperti kata Matoa yang kau jadikan sandaran kini
“Tuang lagi tuakmu, nona
Rayakan malam yang begitu gemuruh dalam gelap”
Ayo minum
Ayo minum

 
P.s.
Mengapa diri ini terus menerus mendulang?

Kembara

Kau pemberontak kecil
Meronta-ronta di atas kerikil
Kau pinta rumah
Agar yang asing tak lagi membuat resah
Sehingga kemana pun kau pergi
Kau merasa tahu pada apa harus kembali

Maka aku hanya bisa memohon ampun
Selamanya kumenolak menjadi rumah untuk singgah
Aku sudah kapok memiliki rumah
Terlanjur kapok dan trauma

Kalau aku yang sekarang tergantung pada kau
Bukan karena engkau rumah

Tapi kau manusia (atau dewa/dewi atau apapun yang kau suka, aku hanya menyamakan rima) yang kujadikan kawan untuk berlari
Untuk memahami Semesta yang penuh misteri
Untuk membicarakan dan mempertanyakan tuhan

Kawan untuk berburu
Atau kawan untuk menyerapahi para penindas yang asu
Kawan untuk menangis haru
Atau kawan untuk tertawa pada hal yang tak terlalu lucu
Kawan untuk kelahi dan diskusi
Atau kawan untuk berbagi segala birahi

Kau hidup, kau hela segala nafas
Dan aku bersyukur akan hal itu

Kau tetap kau
Aku tetap aku

P.s.
Setelah mendengar lagu dari Amigdala yang berjudul “Kau bukan rumah”, membuatku banyak berpikir.

Merah

Kau merah, kau darah
Kau merah, kau resah
Kau merah, kau marah
Kau merah, kau…
Kau merah, lalu jadi titik tak berjeda
Kau merah, dan tak henti bersuara
Kau merah, kau…
Kau merah, jadi cerita di setiap mata
Kau merah, jadi lagu di segala telinga
Kau merah, lalu jadi kuning yang berbintang
Kau…. Kuminis!!

P.s.
Aku pikir lelah juga mengenang sendu. Jadi aku ingat semua cerita jenaka dan kelakarmu tiap kita kelana.
Lalu yang didulang semakin ruah. Asu!

Masa

Kau tahu kenapa aku selalu bertanya?
Karena aku menolak percaya
Aku hanya percaya kita cuma manusia
Dan Sang Kala adalah penguasa

Segala rupa memiliki rasa
Segala rasa memiliki masa
Aku selalu berdoa waktu jadi beku
Namun segala doa hanya jerit yang bisu

Bagiku keajaiban hanya khayalan
Sebab segala sesuatu cuma kebetulan

P.s.
Agar tulisan yang ada makin aku-sentris. He. He.

Kenapa?

Yang hadir hanya remang
Kepala yang dihantam godam
Tak ada lagi lapang pada setiap tenang
Telah susut setiap kata temaram

Rebak malam dalam rambut-rambut hitam
Gelombang seret muka di karang
Tubuh yang penuh luka, siapa punya?
Dikubur dengan ribuan tanya
Kenapa?

Apa yang indah dari tubuh yang luka
Apa yang menarik dari wajah yang selalu duka
Ide-ide parade hanya omong kosong
Senangnya mengaku-ngaku penyair di siang bolong
Kenapa?

Memilih terjebak pada lintasan-lintasan
Bukan pada jalanan yang liyan
Kenapa?
Kau harus menyulit-nyulitkan dirimu
Dengan aku yang selalu keliru
Dengan cerita-cerita kelu
Kenapa?

P.s.
Kosan, 21.45
Hujan turun seminggu tanpa henti. Setiap hari jadi malam, setiap tulisan jadi muram.
Namun, hanya pada malam sang kakak bisa bebas menikmati semestanya.

Keresahan

Besok aku beli gitar tua
Yang mojok di etalase kaca
Milik si pemuda
Yang tak lagi percaya pada Fortuna

Jika berkesenian
Adalah menjadi baik dan buruk
Atau menjadi seni dan bukan seni
Maka ia akan mogok
Dan decit-decit risaunya
Hanya dibiarkan hilang dalam gaung yang hampa

Jika berkesenian, katanya
Hanya menjadi mahal dan murah
Atau jadi miskin dan kaya
Lebih baik ia mati dalam rana
Dan berhenti menjadi raya

Jika puisi hanya berisi luka
Dan lagu hanya gurat-gurat sendu tanpa tawa
Buat apa?
Jika ide tak lagi sama
Dengan nafas para penikmat sastra
Buat apa?

Dahulu mereka..
Tiga kali air pasang
Tiga kali rumah tenggelam
Setiap hari dikokang senjata
Dikandangi dan dikekang
Namun masih hidup
Sebab dengan seni mereka hidup
Sebab seni bukan komoditi
Sebab seni adalah udara bagi paru-paru yang dibelenggu
Sebab seni adalah hidup, dan hidup adalah seni

Tapi sekarang
Tengkar dan gusar jadi kompetisi
Sedih dan senang dikomodifikasi
Dibuat indah agar laku dibeli
Kini semua mesti berirama
Disesuaikan dengan selera
Empu lalu mati dalam duka
Empu tak bisa lagi bersuara
Empu tak lagi punya cerita

P.s
Supaya tetap sadar bahwa menulis adalah nafas.

Kawan

Mengutip WS Rendra
“kita mesti keluar ke jalan raya,
untuk menghayati persoalan yang nyata”

Tuhan
Beri diri, yang hanya bisa berpuisi, inspirasi
Untuk tetap menulis
Dan menjadi godam bagi para penguasa lalim
Agar jidat mereka jadi memar
Dan bertanya
Mengapa?

Mengapa masih ada seratus lima puluh ribu buruh
Yang tua, yang muda
Yang terseok
Yang belum sarapan
Yang esoknya mesti kembali kerja
Masih teriak dalam lautan darah merah

Mengapa?
Mengapa masih ada ibu
Berhitam-hitam hingga kukunya kering kelotok
Berpanas-panas selama sepuluh tahun
Berhadapan dengan beribu wajah
Berdiri setiap Kamis di depan istana

Mengapa?
Jika diri masih mampu bertanya
Lalu berpuisi untuk melawan
Beri diri kekuatan

Tuhan
Beri kami petunjuk terhadap perjuangan-perjuangan
Menghantam kongkongan cukong-cukong bajingan
Eimen

P.s.
Cikini, 08.55
Semoga tidak selamanya diri menjadi penyair salon