Sirih gading

Satu gulung ombak
Mengikat kakiku pagi ini
Awan carut-marut
Seperti rambut yang disibak angin
Kusut!

Aku mabuk ketika sirih gading merambat naik
Ketubuhku dan meniduriku
Seperti tamu yang tak diundang
Masuk tanpa ketuk dahulu

Kutemui lagi kain-kain putih
Membentang dan membalut jiwa ini
Jiwaku bau tanah
Pikiranku bau udara
Terbang melayang
Meninggalkan raga yang panas
Setelah peraduan
Yang tak diinginkan

Doa di hari libur

Siluet-siluet itu memakan api
Seperti ulat saga yang geliat
Menjadi kepompong; menghidupi yang mati
Gusar sudah dua windu
Merupa unggun yang meranggas
maju, kehadapan sang pangu
Meminta air keruh untuk berlindung
Meninggalkan bau sedih tak terbendung
Terisak diam jelaga pekat, menggores
Gambar-gambar yang compang
Di hari libur aku berdoa
Semoga bahagia senantiasa ada
Bukan sekadar sedih tak berkesudahan

Menjadi perempuan bangkrut

Pagi datang begitu tipis
Seperti jarak napas
Dengan hidupku yang terus kempis
Aku makin kurus
Memakan kesedihan-kesedihan
Hingga kenyang cuma bohong belaka

Tangan berbaja menamparku
Seakan ia punya kuasa
Sekongkol dengan takdir
“buat anak ini lapar”
Jadilah aku
Jiwa yang kejang-kejang
Oleh kehidupan yang telah tercacah

Dan tiada lagi mereka tahu
Sekandung anak yang kubawa
Kulahirkan diam-diam di bawah
neraca yang berat sebelah
Anakku bernama duka
Dan menyusu luka yang biru
Serta tangis yang abu-abu

H i d u p

Kulihat kosong mengetuk jendela, lalu buyar di langit sang kala.
Dulu tak pulang seminggu, semua orang jadi rindu.
Ruang tamu yang asing, foto-foto yang tak ada lagi di dinding
Rumahku telah berubah.

Satu tahun yang lalu, masih aku ingat wajah tetangga
Teras-teras dan baju menggantung seperti buah kelapa
Tapi kini segala siang jadi malam
Akibat dikirim tuah gurindam
Hidup kami jadi runyam