Kesedihanku untuk Kris

Kris, kau bilang hidup itu meniti
Setiap kata menjadi anak tangga
Kenapa sekarang kau jadi takut?
Pada spasi yang semakin berjarak
Pada jeda yang dulu tak kau imani
Mengapa kini kau amini?

Kris, kau gertak aku tadi siang
Karena tak lagi memberimu ruang
Kenapa ketika tidak lagi kupenuhi kau dengan madah
Kau malah semakin marah
Ketahuilah Kris, aku juga wajah
Yang tidak selalu tegar

Kris, kuberi kau telinga
Tapi mengapa ketika kubutuh dadamu
Kau malah menjadi tiada?
Kau gemar berbangga-bangga bilang ini-itu cinta
Benarkah itu, Kris?
Benarkah kita merujuk doa yang sama?

P.s
Aku melihat segala kemarahan dan kesedihanku empat tahun lalu kembali lewat suara. Andai aku bisa ledakan kepala, akan aku burai segala visual di akal. Andai ada caranya, agar tak kembali lagi.

Tubuhku adalah tanda

Seorang kawan datang kepadaku
Dan memberitakan dirinya melihat diriku di masa lalu
Baginya aku di masa ini
Adalah manifestasi dari kesakitan-kesakitan yang terlambat sembuh
Sehingga kini, aku adalah kumpulan risau
yang mencari celah untuk merutuk apapun yang ramai
dan menulis apapun yang sepi

Anggur dan bir dingin

“… Kau membekas kesedihan
Yang menjadi haram untuk kujelaskan
Kemudian malam ini baru kurasakan
Aku ingin lagi menghapal wajahmu
Lalu mabuk hingga lantur meracau
Menembak kepala dengan segelas anggur
Tahun dua-ribu-lima-belas”

P.s
Sepenggal diriku yang kembali dipaksa menulis, Tanah Abang yang berangin dan kereta yang dingin.

Mendewakan anjing

Anjingku menggonggong tiga kali
Ketika aku melangkah pergi
Ia bersiul begitu panjang
Seakan memberi tanda
Pada anjing-anjing tetangga

Di pertigaan muncul tiga tujuan
Ketiganya adalah ujung yang semu
Merupa belati yang samar-samar
Menembus kepalaku
Yang satu menuju musim gugur, barangkali bahagia
Satu lagi menuju padang hijau, serta ketidaktahuan
Sedangkan lainnya menuju rumah cermin, bisa jadi di situ ada aku

Jadi aku tanya pada anjingku
Yang berbakat sekali menggonggong
Mana yang mesti kulewati?