Tak perlu dibaca

Tulisan saya selalu terlihat egosentris, lalu bagaimana ini kelangsungannya? Awalnya, saya kira menulis hanya sekedar penyalur ekspresi bagi mereka yang tak benar-benar senang berbicara. Saya mendefinisikan diri sebagai orang yang tak suka bicara, tak suka ramai-ramai, tak suka yang bising. Melihat semua media menulis sebagai pelarian yang asyik. Namun, akhir-akhir ini saya merasa malu dengan tulisan sendiri. Begitu egois! Keterlaluan, tak ada satu pun yang sungguh-sungguh saya tulis. Kini saya sadar, menulis bukan hanya pelarian dari hiruk pikuk sesak sumpak dunia tetapi menjadi kewajiban untuk tidak kabur ketika masuk dalam dunia aksara. Setiap huruf, kata, kalimat, paragraf, lembar, dan buku saya yakini punya jiwa. Seperti Soekram, tokoh fiksi yang selalu abadi. Akhirnya saya memutuskan untuk sungguh menulis, bukan hanya rengekan jiwa yang sepi, bukan lagi sekedar mengenai definisi cinta itu-ini. Ya, mungkin sesekali akan saya tulis hal itu. Mungkin juga tidak. Saya tak pernah tau pasti.

 

Bertanya

Ternyata diri ini tak pernah benar-benar merdeka
Terikat jaring-jaring relasi nyata
Biarpun harus bermuka dua
Kewajiban itu harus dilaksanakan penuh dusta
Pada akhirnya menjadi senjata jitu untuk durga nestapa
Apa yang benar-benar merdeka?
Siapa pemilik raga dan jiwa?

Menjunjung keinginan diri sendiri

Diantara dua sungai aku memilih langit
Bukan karena begitu tinggi
Tapi karena begitu luas tak tergapai. Seperti bebas yang tak tergapai

Maka jangan tahan-tahan hati yang ingin pergi
Perkawanan kita hanya manifesto dari situasi dan kondisi
Kebetulan kamu sedang butuh saya, begitu pun sebaliknya
Serba-serbi kebetulan membuat saya muak

Satu lagi jangan kamu lupa
Pun yang lalu pernah ada, buatku hanya ada masa kini
Kamu bukan kawan yang buruk
Namun, aku tak suka bualan omong kosongmu

Hadapi jalan masing-masing