Tulisan saya selalu terlihat egosentris, lalu bagaimana ini kelangsungannya? Awalnya, saya kira menulis hanya sekedar penyalur ekspresi bagi mereka yang tak benar-benar senang berbicara. Saya mendefinisikan diri sebagai orang yang tak suka bicara, tak suka ramai-ramai, tak suka yang bising. Melihat semua media menulis sebagai pelarian yang asyik. Namun, akhir-akhir ini saya merasa malu dengan tulisan sendiri. Begitu egois! Keterlaluan, tak ada satu pun yang sungguh-sungguh saya tulis. Kini saya sadar, menulis bukan hanya pelarian dari hiruk pikuk sesak sumpak dunia tetapi menjadi kewajiban untuk tidak kabur ketika masuk dalam dunia aksara. Setiap huruf, kata, kalimat, paragraf, lembar, dan buku saya yakini punya jiwa. Seperti Soekram, tokoh fiksi yang selalu abadi. Akhirnya saya memutuskan untuk sungguh menulis, bukan hanya rengekan jiwa yang sepi, bukan lagi sekedar mengenai definisi cinta itu-ini. Ya, mungkin sesekali akan saya tulis hal itu. Mungkin juga tidak. Saya tak pernah tau pasti.