Menjadi Bisu

Lelaki itu patah hati
Lingganya kini beradu dengan yang lain di satu yoni
Lalu ia menulis betapa kering dan suntuk dini hari
Lekuk yoni tetap sama, sukma pemiliknya yang pergi
Lelaki itu merasa autis, asing, dan sendiri

Perempuan Lain rupanya merasa peka pada kisah Lelaki
Pun ia ingin jadi telinga, tangan, dan kaki
Patuh dan binal bagi Lelaki
Perasaan empati kini berubah jadi ambisi

Kelak Perempuan Lain tahu bahwa perasaannya sudah jauh mengikuti Lelaki
Kelak ia sadar bahwa dinding dingin itu bukan memuja sang rani
Kekasihnya serupa lahar, serupa panas, serupa api
Kini pun mewujud seperti apa, Perempuan Lain tahu ia tak pernah berarti
Kendati kacau balau, Lelaki tetap menyimpan sedih untuk sang kekasih

Maka dinding dibiarkan dingin
Agar sang kekasih kembali pada Lelaki
Meskipun Perempuan Lain menjadi Oase  bagi dahaganya
Atau jadi kaki bagi Lelaki untuk pergi dan berlari
Malam-malam sang Lelaki toh selalu kembali
Apapun itu dilakukan, menjaga dinding selalu dingin

Sekilas soal matsarya

Matsarya duduk,
                   duduk, tapi
Ia tidak rata pada tanah
Tidak menyatu pada elemen yang inferior
Baginya meninggi adalah hal yang utama
        dan karenanya ia tak akan bergantung pada mereka yang di bawah
                Pengatur segala laga
Matsarya melihat,
          Pada mata-mata yang putus asa
Ia menggeliat, ia hidup
   lalu mencari tubuh, mencari panas, kemudian ia akan menyatu
Pada mereka yang hatinya patah,
      dan ia bercinta dengan mereka
Pada mereka yang marah,
             ia akan membujuk, merajuk
Panas!
         Panas!
                Panas!

P. S. 

Ditulis ketika simposium Jurnal Antropologi Indonesia 2016 berlangsung. Rupanya Matsarya mencari kekasihnya. Hati-hati.